Jumat, 04 Juli 2014

Legenda-Legenda Banjir Besar (Air Bah) dari Seluruh Dunia

Kisah tentang Air Bah atau banjir besar yang dikirim oleh Tuhan atau para dewa untuk menghancurkan peradaban sebagai suatu tindakan pembalasan adalah sebuah tema yang tersebar luas dalam mitologi Yunani dan banyak mitos dalam budaya lainnya. Kisah tentang Nuh dan bahteranya dalam Quran, Kitab Kejadian, Matsya dalam Puranas Hindu, Deucalion dalam Yunani mitologi dan Utnapishtim dalam Epos Gilgames antara lain adalah versi-versi yang paling dikenal akrab tentang mitos-mitos ini. Sebagian besar budaya dunia pada masa lampau dan kini mempunyai cerita-cerita tentang "air bah" yang menghancurkan peradaban sebelumnya.

Dibawah ini dipaparkan kisah-kisah banjir besar tersebut dari berbagai mitologi versi budaya-budaya kuno ...

TIMUR TENGAH

SUMERIA


Mitos Sumeria tentang Ziusudra menceritakan bagaimana dewa Enki memperingatkan Ziusudra, raja Shuruppak, tentang keputusan para dewata untuk menghancurkan umat manusia dalam sebuah air bah - bagian yang menjelaskan mengapa dewa-dewa telah mengambil keputusan ini hilang. Enki memerintahkan Ziusudra membangun sebuah kapal besar - teks yang menggambarkan perintah ini pun hilang.

Setelah banjir berlangsung tujuh hari, Ziusudra membuat kurban yang semestinya dan menyembah An (dewa langit) dan Enlil (pemimpin para dewa), dan memperoleh kehidupan kekal di Dilmun (Taman Eden bangsa Sumeria) oleh An dan Enlil.

Daftar raja-raja Sumeria, sebuah silsilah tentang raja-raja yang tradisional, legendaris dan mitologis, juga menyebutkan tentang sebuah banjir besar.

Berbagai ekskavasi di Irak menunjukkan tentang sebuah banjir di Shuruppak sekitar tahun 2900-2750 SM, yang meluas hingga kota Kish, yang dipimpin raja Etana, yang konon merupakan pendiri dinasti Sumeria pertama setelah air bah itu. Mitos tentang Ziusudra terdapat dalam sebuah salinan, potongan Kitab Kejadian Eridu, yang menurut tulisannya berasal dari abad ke-17SM

BABILONIA

Tablet Cuneiform yg berisi Epos Atrahasis

Epos Atrahasis Akkadia (ditulis paling kurang tahun 1700 SM), menjelaskan kelebihan penduduk sebagai penyebab air bah. Setelah 1200 tahun kesuburan manusia, dewa Enlil measa terganggu tidurnya karena kebisingan dan hiruk-pikuk yang disebabkan oleh pertambahan manusia. Ia meminta tolong kepada majelis para dewa yang kemudian mengirimkan wabah, kemudian kekeringan, lalu kelaparan, dan kemudian tanah yang asin, semuanya dalam upaya mengurangi jumlah manusia. Semua upaya ini hanya menolong sementara waktu. 1200 tahun setelah masing-masing solusi itu, masalahnya muncul kembali. Ketika para dewa memutuskan untuk mengambil tindakan terakhir, dengan mengirimkan air bah, dewa Enki, yang mempunyai kewajiban moral terhadap penyelesaian ini, mengungkapkan rencana ini kepada Atrahasis, yang kemudian membangun kapal penyelamat menurut ukuran yang diberikan oleh dewa.

Untuk mencegah dewa-dewa lain mengirimkan bencana lain yang menghancurkan, Enki menciptakan solusi baru dalam bentuk gejala sosial berupa perempuan yang tidak menikah, kemandulan, keguguran dan kematian anak-anak bayi, guna mengendalikan pertambahan penduduk.

EROPA
YUNANI

Mitologi Yunani mengenal dua air bah yang mengakhiri dua Zaman Manusia: Air bah Ogigian yang mengakhiri Zaman Perak, dan air bah Deukalion yang mengakhiri Zaman Perunggu Pertama.


Air bah Ogigian disebut demikian karena terjadinya pada masa Ogiges, pendiri dan raja Thebes. Banjir ini menutupi seluruh dunia dan begitu menghancurkan sehingga negara itu tidak memiliki raja hingga pemerintahan Kekrops.

Legenda Deukalion seperti yang dikisahkan oleh Apollodorus dalam The Library mengandung sejumlah kesamaan dengan Bahtera Nuh: Prometheus menasihati anaknya Deukalion untuk membangun sebuah peti. Semua orang tewas kecuali beberapa orang yang menyelamatkan diri ke gunung-gunung yang tinggi. Gunung-gunung di Thessaly terbelah, dan seluruh dunia di luar Isthmus dan Peloponnesos tenggelam. Deukalion dan istrinya Pyrrha, setelah terapung-apung di peti itu selama sembilan hari sembilan malam, mendarat di Parnassus. Sebuah versi yang lebih tua yang dikisahkan oleh Hellanikus mengatakan bahwa "bahtera" Deukalion mendarat di Gunung Othrys di Thessaly. Kisah yang lain mengatakan bahwa ia mendarat di sebuah puncak, kemungkinan Phouka, di Argolis, yang belakangan disebut Nemea. Ketika hujan berhenti, ia memberikan kurban kepada Zeus. Lalu, atas perintah Zeus, ia melemparkan batu-batu ke belakangnya, yang berubah menjadi manusia laki-laki, dan batu-batu yang dilemparkan oleh Pyrrha menjadi perempuan. Appollodorus menyebutkan ini sebagai aitiologi untuk kata Yunani laos "rakyat" yang berasal dari kata laos "batu". Kaum Megarian mengisahkan bahwa Megarus, anak Zeus, selamat dari banjir Deukalion dengan berenang ke puncak Gunung Gerania, di bawah bimbingan teriakan-teriakan burung-burung bangau.

Ada spekulasi bahwa sebuah tsunami hebat di Laut Mediterania yang disebabkan oleh ledakan Thera yang terjadi secara geologis pada sekitar 1630-1600 SM, tetapi hingga 1500 SM secara arkeologis, adalah basis historis untuk cerita rakyat yang berkembang menjadi mitos Deukalion. Mengenai Letusan gunung Thera dapat dibaca disini

Karya Plato, Timaeus (22), merujuk kepada "banjir besar semua" dan Kritias (111-112) merujuk kepada "kehancuran hebat Deukalion." Selain itu, teks-teks itu melaporkan bahwa "banyak banjir besar yang telah terjadi selama sembilan ribu tahun" karena Athena dan Atlantis sangat menonjol.

JERMANIK


Dalam mitologi Norse, Bergelmir adalah anak lelaki dari Thrudgelmir. Ia bersama istrinya adalah satu-satunya raksasa es yang selamat dari banjir darah kakek (Ymir) Bergelmir, ketika Odin dan saudara-saudaranya (Vili dan Ve) membantainya. Mereka merangkak ke sebuah batang pohon yang kosong dan selamat, lalu mendirikan sebuah ras baru raksasa es. Mitologiwan Brian Branston mencatat kesamaan-kesamaan antara mtios ini dengan kejadian yang digambarkan dalam epos Anglo-Saxon Beowulf, yang secara tradisional telah dihubungkan dengan air bah di Alkitab, sehingga barangkali ada kejadian yang sama dalam mitologi Jermanik yang lebih luas maupun di dalam mitologi Anglo-Saxon.

AMERIKA
AZTEK
Ada beberapa varian dari cerita Aztek, banyak di antaranya yang diragukan karena keakuratan atau otentisitasnya.

Ketika Zaman Matahari datang, 400 tahun telah berlalu. Lalu datanglah masa 200 tahun, kemudian 76 tahun. Lalu seluruh umat manusia hilang dan tenggelam serta berubah menjadi ikan. Air dan langit menjadi berdekatan. Dalam satu hari semuanya lenyap, dan Empat Bunga menelan seluruh tubuh kita. Gunung-gunung ditelan dalam banjir, dan airnya tetap tenang selama 52 musim semi. Tetapi sebelum banjir datang, Titlachahuan telah memperingatkan Nota sang manusia dan istrinya Nena, sambil berkata, 'Jangan lagi membuat pulque, tetapi lubangilah bagian tengah pohon cypress yang besar, dan engkau harus masuk ke dalamnya pada bulan Tozoztli. Air akan naik hingga dekat ke langit.' Mereka masuk, dan ketika Titlacahuan menutup mereka di dalamnya, ia berkata kepada lelaki itu, 'Engkau hanya boleh memakan sebatang jagung, demikian pula dengan istrimu'. Dan ketika mereka masing-masing telah memakan sebatang jagung, mereka bersiap-siap untuk berjalan terus, karena airnya tenang.

— Dokumen Aztek Kuno Codex Chimalpopoca, terjemahan oleh Abbé Charles Etienne Brasseur de Bourbourg.

Catatan: Terjemahan-terjemahan Aztek ini kontroversial. Banyak yang tidak mempunyai sumber yang layak dipercaya dan tidak ada bukti tentang otentisitasnya. Sebagian didasarkan pada cerita piktogram tentang Coxcox, tetapi terjemahan-terjemahan lain dari piktogram ini tidak menyebut-nyebut tentang air bah. Yang terpenting, waktu mitos-mitos ini didengar dari rakyat setempat terjadi lama setelah para misionaris masuk ke wilayah ini.

INKA
Dalam mitologi Inka, Viracocha menghancurkan raksasa-raksasa dengan sebuah Air Bah, dan dua orang kemudian mengisi kembali populasi bumi. Uniknya, mereka selamat dalam gua-gua yang disegel.

MAYA
Dalam mitologi Maya, dari Popol Vuh, Bagian 1, Bab 3, Huracan ("kaki-satu") adalah dewa angin dan badai yang menyebabkan Air Bah (berupa cairan pohon yang dapat terbakar) setelah manusia-manusia pertama (yang terbuat dari kayu) membangkitkan kemarahan para dewata (karena tidak mampu menyembah mereka). Ia konon hidup di dalam embun berangin di atas air banjir dan berbicara "bumi" hingga tanah muncul lagi dari lautan.

Belakangan, dalam Bagian 3, Bab 3&4,

Empat orang lelaki dan empat orang perempuan memenuhi kembali dunia Quiche setelah air bah
semua orang berbicara bahasa yang sama (tetapi referensi yang membingungkan)
dan berkumpul bersama-sama di lokasi yang sama
di mana bahasa mereka diubah (ditegaskan beberapa kali)
setelah itu mereka berpencar ke seluruh dunia.


Seperti banyak lainnya, kisah ini tidak menyebutkan "Bahtera". Sebuah "Menara Babel" bergantung pada terjemahannya; sebagian mengatakan orang-orang itu tiba di sebuah kota, yang lainnya di sebuah benteng.


HOPI


Dalam mitologi Hopi, orang-orang berulang kali menjauhkan diri dari Sotuknang, sang pencipta. Ia menghancurkan dunia dengan api, dan kemudian dengan udara yang dingin, dan menciptakan dunia kembali pada kedua kesempatan itu untuk orang-orang yang masih mengikuti hukum-hukum ciptaan, yang bertahan dengan bersembunyi di bawah tanah.

Pada kali yang ketiga, manusia menjadi korup dan suka berperang. Akibatnya, Sotuknang memimpin manusia kepada Perempuan Laba-laba, dan ia memotong buluh-buluh raksasa dan menampung manusia di batangnya yang berlubang. Sotuknang kemudian mendatangkan air bah yang hebat, dan manusia terapung-apung di air di dalam buluh mereka. Buluh-buluh ini kemudian berhenti di sepotong kecil tanah, dan manusia pun keluar, dengan jumlah makanan yang sama seperti waktu mereka berangkat.

Manusia pergi dengan kano mereka, dipimpin oleh hikmat batin mereka (yang kabarnya berasal dari Sotuknang melalui pintu di atas kepala mereka). Mereka pergi ke timur laut, melewati pulau-pulau yang semakin besar, hingga mereka tiba di Dunia Keempat. Ketika mereka mencapai dunia yang keempat, pulau-pulau itu pun tenggelam ke dalam samudra.

KADDO

Dalam mitologi Kaddo, empat monster semakin besar dan berkuasa hingga mereka menyentuh langit. Pada saat itu, seorang manusia mendengar suara yang memberitahukannya agar menanam sebatang buluh yang berlubang di tengahnya. Ia melakukannya, dan buluh itu bertumbuh dengan sangat cepat dan menjadi sangat besar. Manusia masuk ke dalam buluh itu bersama istrinya dan semua binatang yang baik sepasang demi sepasang. Air naik, dan meliputi segala sesuatu kecuali bagian puncak buluh itu dan kepala-kepala monster itu. Seekor penyu kemudian membunuh monster-monster itu dengan menggali di bawah mereka dan mencabut mereka. Air kemudian menyurut dan angin mengeringkan permukaan bumi.

MENOMINEE


Dalam mitologi Menominee, Manabus, sang penipu, "terbakar oleh nafsunya untuk membalas dendam" menembak dua dewa bawah tanah ketika dewa-dewa itu sedang bermain. Ketika mereka semua terjun ke dalam air, muncullah banjir yang besar. "Air naik .... ia tahu betul ke mana Manabus telah pergi." Ia belari dan berlari terus, tetapi air itu, yang datang dari Danau Michigan, mengejarnya semakin lama semakin cepat, bahkan ketika ia naik ke atas gunung dan mendaki puncak pohon pinus. Empat kali ia memohon kepada pohon untuk bertumbuh sedikit lagi, dan empat kali pohon itu mengabulkannya hingga ia tidak dapat bertumbuh lebih tinggi lagi. Tetapi air itu terus mendaki "terus, terus, hingga mencapai dagunya, lalu berhenti": tidak ada lagi yang lain kecuali air yang merentang hingga ke cakrawala. Dan kemudian Manabus, yang ditolong oleh binatang-binatang yang menyelam, khususnya yang paling berani di antara semuanya, Muskrat, menciptakan dunia yang kita kenal sekarang.

MI'KMAQ
Dalam mitologi Mi'kmaq, kejahatan dan kekejian di antara manusia menyebabkan mereka saling membunuh. Hal ini menyebabkan sedihnya dewa-matahari-sang-pencipta, yang meratap sehingga air matanya menjadi hujan yang cukup untuk menyebabkan banjir. Manusia berusaha untuk menyelamatkan diri dengan menaiki kano-kano dari batang kayu, tetapi hanya sepasang laki-laki dan perempuan tua yang selamat untuk memenuhi dunia kembali.


ASIA TIMUR
TIONGKOK

Nuwa Menambal Langit

Shanhaijing, "Cerita Klasik tentang Gunung dan Lautan", berakhir dengan penguasa Tiongkok Da Yu yang selama sepuluh tahun berusaha mengendalikan air bah yang "banjirnya meluap [hingga ke] langit". (lihat: Shanhaijing, Bab 18, alinea kedua dari yang terakhir; penerjemah Anne Birrells, catatan: Nuwa tidak disebutkan dalam terjemahan ini dalam konteks banjir)

Ada banyak sumber tentang mitos air bah dalam literatur Tionghoa. Sebagian tampaknya merujuk kepada air bah di seluruh dunia:

Shujing, atau "Kitab Sejarah", barangkali ditulis sekitar 700 SM atau sebelumnya, menyatakan dalam bagian-bagian pembukaannya bahwa Kaisar Yao sedang menghadapi masalah dengan air bah yang mencapai ke langit. Ini adalah latar belakang dari campur tangan Da Yu yang terkenal, yang berhasil mengendalikan banjir. Ia kemudian mendirikan dinasti Tiongkok yang pertama.

Catatan Sejarah Agung, Chuci, Liezi, Huainanzi, Shuowen Jiezi, Siku Quanshu, Songsi Dashu, dan lain-lainnya, serta banyak mitos rakyat lainnya, semua mengandung rujukan kepada seseorang yang bernama Nuwa. Nuwa pada umumnya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memperbaiki langit yang rusak setelah air bah atau bencana, dan memenuhi dunia kembali dengan manusia. Ada banyak versi tentang mitos ini.

Menurut catatan buku sejarah yang disebut diatas, dewa air Gònggōng (共工) memberontak, dan berperang dengan dewa api Zhùróng (祝融). Gònggōng dikalahkan oleh Zhùróng, dalam amarahnya, Gònggong membenturkan kepalanya ke pilar penahan langit barat, yaitu gunung Bùzhou, sehingga langit miring, air dari sungai langit melimpah ke bumi. Nǚwā tidak tega melihat manusia menderita, sehingga ia melebur dan menggunakan Batu Lima Warna (Wǔsèshí 五色石) untuk menambal langit (ada yang mengatakan tujuh warna, sebagai bentuk dari warna pelangi sekarang).

Peradaban Tiongkok kuno yang terpusat pada tepi Sungai Kuning dekat kota Xi'an sekarang juga percaya bahwa banjir yang parah di sepanjang tepi sungai itu disebabkan oleh naga-naga (yang mewakili para dewa) yang hidup di sungai dibuat marah oleh kesalahan manusia.

India


Matsya (Ikan dalam bahasa Sanskerta) adalah Awatara pertama dari Wisnu.
Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), mantri dari raja Dravida, Satyabrata yang juga dikenal sebagai Manu sedang mencuci tangannya di sebuah sungai ketika seekor ikan kecil masuk ke tangannya dan memohon kepadanya untuk menyelamatkan nyawanya. Ia meletakkan ikan itu di sebuah bejana, yang tak lama kemudian menjadi terlalu kecil untuknya. Ia berturut-turut memindahkan ikan itu ke sebuah tangki, sungai, dan kemudian samudra.

Ikan itu kemudian memperingatkannya bahwa air bah akan terjadi dalam waktu seminggu yang akan menghancurkan seluruh kehidupan. Karena itu Manu membangun sebuah kapal yang ditarik oleh ikan itu ke puncak gunung ketika air bah datang, dan dengan demikian ia selamat bersama-sama dengan sejumlah "benih kehidupan" untuk membangun kembali kehidupan di muka bumi.


INDONESIA
Dalam tradisi Batak, bumi dipikul oleh seekor ular raksasa, Naga-Padoha. Suatu hari, ular itu lelah akan bebannya dan karenanya melemparkan Bumi ke dalam laut. Namun Batara Guru menyelamatkan anak perempuannya dengan mengirimkan sebuah gunung ke laut, dan seluruh umat manusia merupakan keturunannya. Bumi kemudian diletakkan kembali di atas kepala ular itu. Sejumlah cerita di daerah Maluku, misalnya pulau Seram, dianggap termasuk bagian catatan air bah dari suku-suku bangsa Polinesia.


POLINESIA
Ada beberapa cerita air bah yang dicatat di antara bangsa-bangsa Polinesia. Namun tak satupun yang mendekati ukuran air bah di Alkitab.

Rakyat Ra'iatea mengisahkan tentang dua orang sahabat, Te-aho-aroa dan Ro'o, yang pergi menangkap ikan dan kebetulan membangunkan dewa samudera Ruahatu dengan mata kail mereka. Dalam kemarahannya, ia bersumpah untuk menenggelamkan ke dalam laut. Te-aho-aroa dan Ro'o memohon ampun, dan Ruahatu memperingatkan mereka bahwa mereka dapat lolos hana dengan membawa keluarga mereka ke pulau kecil Toamarama. Mereka kemudian berlayar, dan di malam hari, pulau itu tenggelam ke dalam laut, dan baru muncul kembali esok paginya. Tak satupun yang selamat kecuali keluarga-keluarga ini, yang mendirikan marae (kuil-kuil) suci yang dipersembahkan kepada dewa Ruahatu.

Sebuah legenda serupa terdapat di Tahiti. Tak ada alasan yang diberikan untuk tragedy ini, tetapi seluruh pulau itu tenggelam ke dalam laut kecuali Gunung Pitohiti. Sepasang manusia berhasil melarikan diri bersama binatang-binatang mereka dan selamat.

Dalam sebuah tradisi di kalangan suku Ngāti Porou, sebuah suku Māori di pantai timur Pulau Utara Selandia Baru, Ruatapu menjadi marah ketika ayahnya Uenuku mengangkat adik tirinya Kahutia-te-rangi melewatinya. Ruatapu memikat Kahutia-te-rangi dan sejumlah besar orang muda dari keturunan bangsawan masuk ke kanonya dan membawa mereka keluar ke laut dan di sana ia menenggelamkan mereka. Ia memanggil para dewa untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mengancam akan kembali sebagai gelombang-gelombang besar pada awal musim panas. Sementara ia bergumul untuk memeprtahankan nyawanya, Kahutia-te-rangi membacakan mantra yang memanggil ikan paus bungkuk selatan (paikea dalam bahasa Māori) untuk membawanya ke pantai. Karena itu, ia diubah namanya menjadi Paikea, dan merupakan satu-satunya orang yang selamat (Reedy 1997:83-85).

Beberapa versi cerita Māori tentang Tawhaki mengandung episode di mana si pahlawan menggunakan air bah untuk menghancurkan desa dari dua saudara iparnya yang iri. Sebuah komentar dalam Polynesian Mythology karya Grey dapat memberikan kepada orang-orang Māori sesuatu yang tak pernah mereka dengar sebelumnya - sebagaimana dikatakan oleh A.W Reed, "Dalam Polynesian Mythology" Grey mengatakan bahwa ketika leluhur Tawhaki melepaskan air bah dari langit, bumi tenggelam dan seluruh umat manusia musnah - dengan demikian orang Māori memperoleh versinya sendiri tentang air bah universal (Reed 1963:165, dalam catatan kaki). Pengaruh Kristen telah menyebabkan munculnya silsilah di mana kakek Tawhaki, Hema, ditafsirkan kembali sebagai Sem, anak Nuh dari kisah air bah dalam Alkitab.

Di Hawaii, sepasang manusia, Nu'u dan Lili-noe, selamat dari sebuah banjir di puncak Mauna Kea di Big Island (Pulau Besar). Nu'u mempersembahkan kurban kepada bulan, yang disangkanya telah menyelamatkannya. Kāne, sang dewa pencipta, turun ke bumi dengan menggunakan pelangi, menjelaskan kekeliruan Nu'u, dan menerima kurbannya.

Di Seti, di Seram Utara, percaya bahwa batas-batas tanah mereka adalah batas setelah kering ke-2 (akibat dari Banjir Besar). Sementara kapata-kapata (pantun-pantun yang sudah mendarah daging dan menjadi simbol budaya setempat) berbicara tentang sesorang bernama NUHU, berlayar di pinggir suatu pulau (hasa-hasa e), melihat tanjung (tanjong e) dan sebagainya. Namun karena alasan-alasan tertentu maka beberapa kapata tersebut terpaksa jarang dituturkan di Maluku.

Di Marquesas, dewa perang yang agung Tu menjadi marah ketika mendengar komentar kritis dari saudara perempuannya Hii-hia. Air matanya merobek lantai surga hingga ke dunia di bawahnya dan menciptakan hujan lebat yang menghanyutkan segala sesuatu yang dilaluinya. Hanya enam orang yang selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar