Kamis, 17 Juli 2014

Makalah Kapita Selekta Aswaja

NAHDATUL ULAMA DALAM DINAMIKA POLITIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nahdatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah. Nahdatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU sebagai infastruktur sosial bangsa dan sebagai ormas sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia telah berperan aktif dalam membangun SDM bangsa. Hal ini sebagai implementasi komitmen NU dalam membangun kecerdasan intelektual dan emosional umat yang berlandaskan nilai-nilai spiritual-moral (moral-spiritual values) yang menjadi ciri khas NU. Pembangunan moral spiritual umat yang dikembangkan NU ini merupakan potensi dan kekuatan yang tangguh untuk dikembangakan dalam rangka pembangunan karakter (character building) generasi bangsa yang mulai pudar tergerus dan tergeser oleh kebudayaan-kebudayan global (global culture) atau kebudayaan asing.
Bagi NU persatuan dan kesatuan merupakan diatas segala-galanya dalam konteks berbangsa dan bernegara. NU memiliki berbagai makna tentang persatuan dan kesatuan (ukhuwah) yang terdiri dari Ukhu-wah dinniyah, ukhuwah watho-niyah dan ukhuwah basyariyah. Berbagai macam ukhuwah ini harus dipahami dan dijalankan secara seimbang tanpa mengecilkan salah satu dari ketiganya. Berbagai persoalan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini akan dapat diselesaikan dengan cara mengoptimalkan pemahaman dan implementasi doktrin aswaja dalam konteks beragama dan berbangsa, yaitu bagaimana semua rakyat Indonesia kususnya warga Nahdliyin yang menduduki mayoritas warga Indonesia, bisa berfikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran, doktrin aswaja yang secara jelas dijadikan asas oleh organisasi NU.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdiri nya NU ?
2. Bagaimana peran NU dalam mendirikan NKRI ?
3. Bagaiman peran NU dalam pembangunan karakter bangsa?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah berdirinya NU
Nahdatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga jam’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis massa yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat dengan mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal Islam.
Di awal berdirinya NU hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan tradisionalis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam Anggaran Dasar-nya yang pertama, tujuan NU didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa. Namun sejalan dengan dinamika warganya, di tahun lima puluhan, NU terlihat dalam kegiatan politik praktis.
Fajrul Falaah, salah seorang tokoh muda NU, merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU: (1) Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (2) Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda, dan (3) usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.
Berbeda dengan Falaah, Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada aawl abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu terkemuka di tanah Minangkabau. Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa “Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini oleh Martin van Bruinessen dibantah, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang representatif. Silang pendapat antar sejarawan yang demikian ini merupakan suatu kewajaran. Mereka mengemukakan preferensi sesuai dengan data yang ditemukan. Deliar Noer misalnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sangat mendiskriditkan NU, merujuk pada data sejarah yang cukup kuat. Sebuah catatan di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas. Terlepas dari benar atau tidaknya data sejarah Noer, bagi Martin di samping bukti-bukti sejarah yang kuat, aspek reasonable juga penting diperhatikan. Dalam kasus berdirinya NU misalnya, apabila NU merupakan gerakan responsif atas kaum pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak berdiri pada tahun belasan, di mana usaha kelompok pembaharu sangat gencar.
Begitu juga Falaah, sebagai penelitian dari kalangan NU (insider) tak lepas dari kajian teks dan juga kajian sejarah sosial. Munculnya kelompok studi “tashwrul afkar” di awal abad XX yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU.
2. Peran NU dalam Mendirikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Keterlibtan NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Secara doktriner,  NU menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus berlanjut ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942. Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondondangan ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu diabaikan oleh NU.
Alasannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang membentuk kantor urusan agama yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan member pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olahraga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisi di kalangan kyai.
Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap dengan alas an yang tidak jelas. terjadi kegoncangan di tubuh NU. Kegoncangan bertambah hebat ketika KH. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan it uterus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. KH. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yan terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang. Seperti Saiko Siki Kan, Gunseikan, dan Shuutyokan.
Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni PETA, PETA diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalngan tak terkecuali umat Islam para kyai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi PETA, padahal mereka tahu pembentukan PETA dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang nebghadapi sekutu yang akan datang ke Jaea? maksudnya orang Indonesia ke PETA lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengiginkan mendapat peran politik yang lebih besar di masa yang akan datang, bukan karena ingin membantu Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang akan mebubarkan organisasi social-politik-keagamaan yang tidak mau diajak bekerja sama, sebaliknya yang masih mau diajak bekerja sama akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi. Pada tahun 1944, NU pertama kalinya mesuk ke dalam struktur pemerintahan dengan diangkatnya KH. Hasyim Asy’aru sebagai ketua Shumubu (Kantor Uurusan Agama). Pada tahun itu juga KH Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan kerena beberapa medan pertempuran Jepang mengalami kekalahan terhadap sekutu. Janji itu kemudian di respons secara posisi oleh Pimpinan Kongres Umat Islam Sedunia, Syekh Muhammad al-Husaini dari Palestina dengan cara mengerimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman, surat itu juga ditembuskan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Dengan cepat KH. Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktober 1944 yang menghasilkan resolusi ditunjukan kepada pemerintah Jepang.
Resolusi tersebut; pertama, mempersiapkan umat Islam Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat islam untuk memastikan terlaksannya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agam Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jpeang Raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan kepada segenap bangsa Indonesia. Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadrkan masyarakat akan hak-hak politiknya di masa depan.
Untuk mematangkan persipan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 26 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang dasar (UUD) bakal republik, di dalamnya juga muncul pembicaraan mengenai bentuk Negara. Polarisasi pendapat didalam BPUPKI mengenai bentuk Negara ada; satu pihak menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi Negara kesatuan nasional yang memisahkan Negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal Negara Indonesia.
Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk Negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dengan memisahkan agama dari Negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. Nilai-nilai agama bisa dimasukan ke dalam hokum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang0undang yang dihasilakan parlemen sesuai dengan Islam. Klau mayoritas anggota parlemen bukan umat Islam. Pemikiran Soekarno yang sperti ini, menurut istilah sekrang subtansialistik, yaitu menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar Negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, Yakni 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) permusywaratan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja, perdebatan sengit untuk tentang sila Ketuhanan yang Maha Easa dengan kewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuan kata terakhir mendapat tentangan nasionali-muslim seperti Wakhid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Hatta menjelang siding PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam piagam Jakrta yang menjadi titi sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim Sembilan PPKI yang bertugas merumuskan tentang dasar Negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalis muslim tersebut merupakan kelantunan dari kursi KH Wahid Hasyim, KH. Masykur dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.
3. Peran NU dalam pembangunan karakter bangsa
Kondisi moral dan mental masyarakat Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Dekadensi moral hampir terjadi di semua lapisan masyarakat, dari yang pejabat sampai rakyat biasa, dari kalangan yang tidak terdidik sampai yang terdidik, kalangan muda sampai yang tua. Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang kejahatan dan perilaku amoral. Padahal moral dan mental masyarakat akan menentukan jati diri dan karakter bangsa.
Untuk memperbaiki kondisi di atas, bukanlah hal yang mudah. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi moral dan pembangunan karakter (character building) generasi bangsa membutuhkan pengorbanan pikiran, tenaga dari berbagai elemen bangsa. NU sebagai organisasi yang mempunyai kekuatan sipil yang besar dapat secara lebih aktif berperan dalam menyelesaikan masalah ini.
Kalau berbicara masalah peran NU dalam kancah politik nasional dan pendidikan maka kita akan menemukan fakta yang tak terbantahkan. Dalam maslah kajian keagamaan, NU juga sudah tidak diragukan lagi, banyak sekali intelektual muda NU yang sudah berkiprah dalam pembanguan pemikiran keagamaan di negeri ini. Banyak tokoh dan kader NU yang telah mewarnai perkembangan kajian dan pemikiran keagamaan di Indonesia.
Disadari atau tidak, arus globalisasi yang kian deras berdampak cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan lokal dan nilai-nilai moral, jati diri dan karakter bangsa yang merupakan eksistensi sebuah masyarakat mendapat tantangan dan serangan yang cukup dahsyat. Di era globalisasi ini, budaya yang ada didominasi oleh budaya Barat, khususnya budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Globalisasi yang melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” nilai kebudayaan. Kondisi ini juga mengikis rasa nasionalisme dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Dengan adanya tantangan ini, NU dengan kekuatan organisasi dan jaringan lembaga pendidikan pondok pesantren, lembaga pendidikan ma'aarif yang tersebar di seluruh pelosok nusantara dapat berperan lebih aktif untuk membangun dan memperkuat karakter anak bangsa.
Pondok Pesantren sebagai institusi pendidikan agama bagi masyarakat, telah terbukti mampu mempertahankan dan meningkatkan perannya dalam menyelesaikan berbagi permasalahan yang muncul di masayarakat, terutama masalah dekadensi moral (moral decadence) yang semakin hari semakin parah. Dengan prestasi ini, sudah seharusnya pesantren dapat dimanfaatkan sebagai penyeimbang (balance) dan pemberi warna kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai religious (religious values), keindahan moral dan kedalaman spiritual. Dengan penanaman nilai moral spiritual agama, maka diharapkan akan dapat membantu pembangunan moral dan karakter generasi bangsa Indonesia.
Pembangunan karakter bangsa sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Pada dasarnya sistem pendidikan nasional yang dikembangkan di Indonesia bermaksud dan bertujuan bukan hanya untuk mencerdasrkan intelektualitas generasi bangsa, akan tetapi juga bermaksud mencetak generasi yang mempunyai ketinggian moral dan ketangguhan jati diri karakter. Oleh karena itu, pemantapan dan penguatan jaringan pesantren NU yang tersebar diseluruh nusantara perlu diperhatikan dan mendapat perhatian serius.
Sebagaimana maklum, secara umum, proses pendidikan meliputi tiga aspek pokok, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Aspek afektif yakni yang berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, manajemen emosi. Sementara aspek kognitif yakni yang berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, analisis. Sedangkan aspek psikomotorik adalah yang berkaitan dengan praktek atau aplikasi apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Lembaga lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU selama ini dinilai telah mampu menyeimbangkan pencapaian aspek kognitif, afektif fan psikomotorik. Agar kekuatan tersebut bisa membawa manfaat yang lebih besar dan luas dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, NU diharapkan bisa mengoptimalkandan memaksimalkan pesantren dalam membentuk dan menyeimbangkan antara kekuatan akal, sikap dan keterampilan. Harapan ini juga pernah disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh pada saat pembukaan Mukatamar NU di Makasar beberapa waktu yang lalu.
Bukan hanya itu, generasi bangsa perlu dibekali dengan social skills (kemampuan kemasyarakatan) yang cukup. Hal inipenting agar mereka dapat memperkuat jiwa sosial dalam menyelesaikan berbagai permasalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan Pondok Pesantren yang menjadi cirri khas NU merupakan institusi pendidikan agama, di dalamnya sarat dan akrab dengan iklim kehidupan yang penuh kesederhanaan, kemandirian, keteguhan, kesabaran dan keuletan serta kental dengan nilai-nilai religius dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang saat ini mulai hilang dari kehidupan bangsa kita karena tergeser oleh nilai-nilai kebudayaan global (global culture).
NU dengan kekuatan organisasi dan jaringan pondok pesantrennya harus mampu meningkatkan perannya dalam membentengi masyarakat dari kerusakan moral dengan mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat. Upaya ini diharapkan dapat mengembalikan masyarakat dari keterperosokan moral dan memperteguh jati diri dan membangun karakter generasi bangsa yang tangguh. Dengan demikian mereka dapat mempertahankan nilai-nilai moral dan kebudayaan dan memperteguh rasa nasionalisme bangsa Indonesia di tengah arus gelobalisasi yang saat ini sedang melanda.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nahdatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah. Nahdatul Ulama berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur dan merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Keterlibatan NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya tidak bisa dipungkiri. Secara doktriner, NU menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Serta pembangunan karakter bangsa sangat erat kaitannya dengan pendidikan, yang bermaksud dan bertujuan bukan hanya untuk mencerdasrkan intelektualitas generasi bangsa, akan tetapi juga bermaksud mencetak generasi yang mempunyai ketinggian moral dan ketangguhan jati diri karakter.
B. Saran
Dalam rangka membangun karakter bangsa yang kuat, pemerintah diharapkan unutk lebih memerhatikan sarana pendidikan terkhusnya pada pesantren-pesantren milik yang dikelola oleh Organisasi kemasyakatan seperti NU dan Muhammadiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, I. 2012. “NU dan Pembangunan Karakter Bangsa”. (Online) http://mushthava.blogspot.com/2012/03/nu-dan-pembangunan-karakter-bangsa.html

Hadi, H. 2011. “Bahtsul Masail NU”. (Online)  http://khotimhanifu dinnajib.blogspot.com/2011/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Hermansyah. 2013. “Merekonstruksi Peran Kebangsaan NU”. (Online) www.facebook.com/GenerasiMuda Nu?fref=nf.

Afriyadi, Y. 2013. “Amal Bakti NU terhadap Bangsa dan Negara”. (Online) www.gudangmakalahku.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar