Kisah
tentang Air Bah atau banjir besar yang dikirim oleh Tuhan atau para dewa untuk
menghancurkan peradaban sebagai suatu tindakan pembalasan adalah sebuah tema
yang tersebar luas dalam mitologi Yunani dan banyak mitos dalam budaya lainnya.
Kisah tentang Nuh dan bahteranya dalam Quran, Kitab Kejadian, Matsya dalam
Puranas Hindu, Deucalion dalam Yunani mitologi dan Utnapishtim dalam Epos
Gilgames antara lain adalah versi-versi yang paling dikenal akrab tentang
mitos-mitos ini. Sebagian besar budaya dunia pada masa lampau dan kini
mempunyai cerita-cerita tentang "air bah" yang menghancurkan
peradaban sebelumnya.
Dibawah
ini dipaparkan kisah-kisah banjir besar tersebut dari berbagai mitologi versi
budaya-budaya kuno ...
TIMUR TENGAH
SUMERIA
Mitos
Sumeria tentang Ziusudra menceritakan bagaimana dewa Enki memperingatkan
Ziusudra, raja Shuruppak, tentang keputusan para dewata untuk menghancurkan umat
manusia dalam sebuah air bah - bagian yang menjelaskan mengapa dewa-dewa telah
mengambil keputusan ini hilang. Enki memerintahkan Ziusudra membangun sebuah
kapal besar - teks yang menggambarkan perintah ini pun hilang.
Setelah
banjir berlangsung tujuh hari, Ziusudra membuat kurban yang semestinya dan
menyembah An (dewa langit) dan Enlil (pemimpin para dewa), dan memperoleh
kehidupan kekal di Dilmun (Taman Eden bangsa Sumeria) oleh An dan Enlil.
Daftar
raja-raja Sumeria, sebuah silsilah tentang raja-raja yang tradisional,
legendaris dan mitologis, juga menyebutkan tentang sebuah banjir besar.
Berbagai
ekskavasi di Irak menunjukkan tentang sebuah banjir di Shuruppak sekitar tahun
2900-2750 SM, yang meluas hingga kota Kish, yang dipimpin raja Etana, yang konon
merupakan pendiri dinasti Sumeria pertama setelah air bah itu. Mitos tentang
Ziusudra terdapat dalam sebuah salinan, potongan Kitab Kejadian Eridu, yang
menurut tulisannya berasal dari abad ke-17SM
BABILONIA
Tablet Cuneiform yg berisi Epos Atrahasis
Epos
Atrahasis Akkadia (ditulis paling kurang tahun 1700 SM), menjelaskan kelebihan
penduduk sebagai penyebab air bah. Setelah 1200 tahun kesuburan manusia, dewa
Enlil measa terganggu tidurnya karena kebisingan dan hiruk-pikuk yang
disebabkan oleh pertambahan manusia. Ia meminta tolong kepada majelis para dewa
yang kemudian mengirimkan wabah, kemudian kekeringan, lalu kelaparan, dan
kemudian tanah yang asin, semuanya dalam upaya mengurangi jumlah manusia. Semua
upaya ini hanya menolong sementara waktu. 1200 tahun setelah masing-masing
solusi itu, masalahnya muncul kembali. Ketika para dewa memutuskan untuk
mengambil tindakan terakhir, dengan mengirimkan air bah, dewa Enki, yang
mempunyai kewajiban moral terhadap penyelesaian ini, mengungkapkan rencana ini
kepada Atrahasis, yang kemudian membangun kapal penyelamat menurut ukuran yang
diberikan oleh dewa.
Untuk
mencegah dewa-dewa lain mengirimkan bencana lain yang menghancurkan, Enki
menciptakan solusi baru dalam bentuk gejala sosial berupa perempuan yang tidak
menikah, kemandulan, keguguran dan kematian anak-anak bayi, guna mengendalikan
pertambahan penduduk.
EROPA
YUNANI
Mitologi
Yunani mengenal dua air bah yang mengakhiri dua Zaman Manusia: Air bah Ogigian
yang mengakhiri Zaman Perak, dan air bah Deukalion yang mengakhiri Zaman
Perunggu Pertama.
Air
bah Ogigian disebut demikian karena terjadinya pada masa Ogiges, pendiri dan
raja Thebes. Banjir ini menutupi seluruh dunia dan begitu menghancurkan
sehingga negara itu tidak memiliki raja hingga pemerintahan Kekrops.
Legenda
Deukalion seperti yang dikisahkan oleh Apollodorus dalam The Library mengandung
sejumlah kesamaan dengan Bahtera Nuh: Prometheus menasihati anaknya Deukalion
untuk membangun sebuah peti. Semua orang tewas kecuali beberapa orang yang
menyelamatkan diri ke gunung-gunung yang tinggi. Gunung-gunung di Thessaly
terbelah, dan seluruh dunia di luar Isthmus dan Peloponnesos tenggelam.
Deukalion dan istrinya Pyrrha, setelah terapung-apung di peti itu selama
sembilan hari sembilan malam, mendarat di Parnassus. Sebuah versi yang lebih
tua yang dikisahkan oleh Hellanikus mengatakan bahwa "bahtera"
Deukalion mendarat di Gunung Othrys di Thessaly. Kisah yang lain mengatakan
bahwa ia mendarat di sebuah puncak, kemungkinan Phouka, di Argolis, yang
belakangan disebut Nemea. Ketika hujan berhenti, ia memberikan kurban kepada
Zeus. Lalu, atas perintah Zeus, ia melemparkan batu-batu ke belakangnya, yang
berubah menjadi manusia laki-laki, dan batu-batu yang dilemparkan oleh Pyrrha
menjadi perempuan. Appollodorus menyebutkan ini sebagai aitiologi untuk kata
Yunani laos "rakyat" yang berasal dari kata laos "batu".
Kaum Megarian mengisahkan bahwa Megarus, anak Zeus, selamat dari banjir
Deukalion dengan berenang ke puncak Gunung Gerania, di bawah bimbingan
teriakan-teriakan burung-burung bangau.
Ada
spekulasi bahwa sebuah tsunami hebat di Laut Mediterania yang disebabkan oleh
ledakan Thera yang terjadi secara geologis pada sekitar 1630-1600 SM, tetapi
hingga 1500 SM secara arkeologis, adalah basis historis untuk cerita rakyat
yang berkembang menjadi mitos Deukalion. Mengenai Letusan gunung Thera dapat dibaca
disini
Karya
Plato, Timaeus (22), merujuk kepada "banjir besar semua" dan Kritias
(111-112) merujuk kepada "kehancuran hebat Deukalion." Selain itu,
teks-teks itu melaporkan bahwa "banyak banjir besar yang telah terjadi
selama sembilan ribu tahun" karena Athena dan Atlantis sangat menonjol.
JERMANIK
Dalam
mitologi Norse, Bergelmir adalah anak lelaki dari Thrudgelmir. Ia bersama
istrinya adalah satu-satunya raksasa es yang selamat dari banjir darah kakek
(Ymir) Bergelmir, ketika Odin dan saudara-saudaranya (Vili dan Ve)
membantainya. Mereka merangkak ke sebuah batang pohon yang kosong dan selamat,
lalu mendirikan sebuah ras baru raksasa es. Mitologiwan Brian Branston mencatat
kesamaan-kesamaan antara mtios ini dengan kejadian yang digambarkan dalam epos Anglo-Saxon
Beowulf, yang secara tradisional telah dihubungkan dengan air bah di Alkitab,
sehingga barangkali ada kejadian yang sama dalam mitologi Jermanik yang lebih
luas maupun di dalam mitologi Anglo-Saxon.
AMERIKA
AZTEK
Ada
beberapa varian dari cerita Aztek, banyak di antaranya yang diragukan karena
keakuratan atau otentisitasnya.
Ketika
Zaman Matahari datang, 400 tahun telah berlalu. Lalu datanglah masa 200 tahun,
kemudian 76 tahun. Lalu seluruh umat manusia hilang dan tenggelam serta berubah
menjadi ikan. Air dan langit menjadi berdekatan. Dalam satu hari semuanya
lenyap, dan Empat Bunga menelan seluruh tubuh kita. Gunung-gunung ditelan dalam
banjir, dan airnya tetap tenang selama 52 musim semi. Tetapi sebelum banjir
datang, Titlachahuan telah memperingatkan Nota sang manusia dan istrinya Nena,
sambil berkata, 'Jangan lagi membuat pulque, tetapi lubangilah bagian tengah
pohon cypress yang besar, dan engkau harus masuk ke dalamnya pada bulan
Tozoztli. Air akan naik hingga dekat ke langit.' Mereka masuk, dan ketika
Titlacahuan menutup mereka di dalamnya, ia berkata kepada lelaki itu, 'Engkau
hanya boleh memakan sebatang jagung, demikian pula dengan istrimu'. Dan ketika
mereka masing-masing telah memakan sebatang jagung, mereka bersiap-siap untuk
berjalan terus, karena airnya tenang.
—
Dokumen Aztek Kuno Codex Chimalpopoca, terjemahan oleh Abbé Charles Etienne
Brasseur de Bourbourg.
Catatan:
Terjemahan-terjemahan Aztek ini kontroversial. Banyak yang tidak mempunyai
sumber yang layak dipercaya dan tidak ada bukti tentang otentisitasnya.
Sebagian didasarkan pada cerita piktogram tentang Coxcox, tetapi
terjemahan-terjemahan lain dari piktogram ini tidak menyebut-nyebut tentang air
bah. Yang terpenting, waktu mitos-mitos ini didengar dari rakyat setempat terjadi
lama setelah para misionaris masuk ke wilayah ini.
INKA
Dalam
mitologi Inka, Viracocha menghancurkan raksasa-raksasa dengan sebuah Air Bah,
dan dua orang kemudian mengisi kembali populasi bumi. Uniknya, mereka selamat
dalam gua-gua yang disegel.
MAYA
Dalam
mitologi Maya, dari Popol Vuh, Bagian 1, Bab 3, Huracan ("kaki-satu")
adalah dewa angin dan badai yang menyebabkan Air Bah (berupa cairan pohon yang
dapat terbakar) setelah manusia-manusia pertama (yang terbuat dari kayu)
membangkitkan kemarahan para dewata (karena tidak mampu menyembah mereka). Ia
konon hidup di dalam embun berangin di atas air banjir dan berbicara
"bumi" hingga tanah muncul lagi dari lautan.
Belakangan, dalam Bagian 3, Bab 3&4,
Empat
orang lelaki dan empat orang perempuan memenuhi kembali dunia Quiche setelah
air bah
semua
orang berbicara bahasa yang sama (tetapi referensi yang membingungkan)
dan
berkumpul bersama-sama di lokasi yang sama
di
mana bahasa mereka diubah (ditegaskan beberapa kali)
setelah
itu mereka berpencar ke seluruh dunia.
Seperti
banyak lainnya, kisah ini tidak menyebutkan "Bahtera". Sebuah
"Menara Babel" bergantung pada terjemahannya; sebagian mengatakan
orang-orang itu tiba di sebuah kota, yang lainnya di sebuah benteng.
HOPI
Dalam
mitologi Hopi, orang-orang berulang kali menjauhkan diri dari Sotuknang, sang
pencipta. Ia menghancurkan dunia dengan api, dan kemudian dengan udara yang
dingin, dan menciptakan dunia kembali pada kedua kesempatan itu untuk
orang-orang yang masih mengikuti hukum-hukum ciptaan, yang bertahan dengan
bersembunyi di bawah tanah.
Pada
kali yang ketiga, manusia menjadi korup dan suka berperang. Akibatnya,
Sotuknang memimpin manusia kepada Perempuan Laba-laba, dan ia memotong
buluh-buluh raksasa dan menampung manusia di batangnya yang berlubang.
Sotuknang kemudian mendatangkan air bah yang hebat, dan manusia terapung-apung
di air di dalam buluh mereka. Buluh-buluh ini kemudian berhenti di sepotong kecil
tanah, dan manusia pun keluar, dengan jumlah makanan yang sama seperti waktu
mereka berangkat.
Manusia
pergi dengan kano mereka, dipimpin oleh hikmat batin mereka (yang kabarnya
berasal dari Sotuknang melalui pintu di atas kepala mereka). Mereka pergi ke
timur laut, melewati pulau-pulau yang semakin besar, hingga mereka tiba di
Dunia Keempat. Ketika mereka mencapai dunia yang keempat, pulau-pulau itu pun
tenggelam ke dalam samudra.
KADDO
Dalam
mitologi Kaddo, empat monster semakin besar dan berkuasa hingga mereka
menyentuh langit. Pada saat itu, seorang manusia mendengar suara yang
memberitahukannya agar menanam sebatang buluh yang berlubang di tengahnya. Ia
melakukannya, dan buluh itu bertumbuh dengan sangat cepat dan menjadi sangat
besar. Manusia masuk ke dalam buluh itu bersama istrinya dan semua binatang
yang baik sepasang demi sepasang. Air naik, dan meliputi segala sesuatu kecuali
bagian puncak buluh itu dan kepala-kepala monster itu. Seekor penyu kemudian
membunuh monster-monster itu dengan menggali di bawah mereka dan mencabut
mereka. Air kemudian menyurut dan angin mengeringkan permukaan bumi.
MENOMINEE
Dalam
mitologi Menominee, Manabus, sang penipu, "terbakar oleh nafsunya untuk
membalas dendam" menembak dua dewa bawah tanah ketika dewa-dewa itu sedang
bermain. Ketika mereka semua terjun ke dalam air, muncullah banjir yang besar.
"Air naik .... ia tahu betul ke mana Manabus telah pergi." Ia belari
dan berlari terus, tetapi air itu, yang datang dari Danau Michigan, mengejarnya
semakin lama semakin cepat, bahkan ketika ia naik ke atas gunung dan mendaki
puncak pohon pinus. Empat kali ia memohon kepada pohon untuk bertumbuh sedikit
lagi, dan empat kali pohon itu mengabulkannya hingga ia tidak dapat bertumbuh
lebih tinggi lagi. Tetapi air itu terus mendaki "terus, terus, hingga
mencapai dagunya, lalu berhenti": tidak ada lagi yang lain kecuali air yang
merentang hingga ke cakrawala. Dan kemudian Manabus, yang ditolong oleh
binatang-binatang yang menyelam, khususnya yang paling berani di antara
semuanya, Muskrat, menciptakan dunia yang kita kenal sekarang.
MI'KMAQ
Dalam
mitologi Mi'kmaq, kejahatan dan kekejian di antara manusia menyebabkan mereka
saling membunuh. Hal ini menyebabkan sedihnya dewa-matahari-sang-pencipta, yang
meratap sehingga air matanya menjadi hujan yang cukup untuk menyebabkan banjir.
Manusia berusaha untuk menyelamatkan diri dengan menaiki kano-kano dari batang
kayu, tetapi hanya sepasang laki-laki dan perempuan tua yang selamat untuk
memenuhi dunia kembali.
ASIA TIMUR
TIONGKOK
Nuwa Menambal Langit
Shanhaijing,
"Cerita Klasik tentang Gunung dan Lautan", berakhir dengan penguasa
Tiongkok Da Yu yang selama sepuluh tahun berusaha mengendalikan air bah yang
"banjirnya meluap [hingga ke] langit". (lihat: Shanhaijing, Bab 18,
alinea kedua dari yang terakhir; penerjemah Anne Birrells, catatan: Nuwa tidak
disebutkan dalam terjemahan ini dalam konteks banjir)
Ada
banyak sumber tentang mitos air bah dalam literatur Tionghoa. Sebagian
tampaknya merujuk kepada air bah di seluruh dunia:
Shujing,
atau "Kitab Sejarah", barangkali ditulis sekitar 700 SM atau
sebelumnya, menyatakan dalam bagian-bagian pembukaannya bahwa Kaisar Yao sedang
menghadapi masalah dengan air bah yang mencapai ke langit. Ini adalah latar
belakang dari campur tangan Da Yu yang terkenal, yang berhasil mengendalikan
banjir. Ia kemudian mendirikan dinasti Tiongkok yang pertama.
Catatan
Sejarah Agung, Chuci, Liezi, Huainanzi, Shuowen Jiezi, Siku Quanshu, Songsi
Dashu, dan lain-lainnya, serta banyak mitos rakyat lainnya, semua mengandung
rujukan kepada seseorang yang bernama Nuwa. Nuwa pada umumnya digambarkan
sebagai seorang perempuan yang memperbaiki langit yang rusak setelah air bah
atau bencana, dan memenuhi dunia kembali dengan manusia. Ada banyak versi
tentang mitos ini.
Menurut
catatan buku sejarah yang disebut diatas, dewa air Gònggōng (共工) memberontak, dan berperang dengan dewa api Zhùróng (祝融). Gònggōng dikalahkan oleh Zhùróng, dalam amarahnya,
Gònggong membenturkan kepalanya ke pilar penahan langit barat, yaitu gunung
Bùzhou, sehingga langit miring, air dari sungai langit melimpah ke bumi. Nǚwā
tidak tega melihat manusia menderita, sehingga ia melebur dan menggunakan Batu
Lima Warna (Wǔsèshí 五色石) untuk menambal
langit (ada yang mengatakan tujuh warna, sebagai bentuk dari warna pelangi
sekarang).
Peradaban
Tiongkok kuno yang terpusat pada tepi Sungai Kuning dekat kota Xi'an sekarang
juga percaya bahwa banjir yang parah di sepanjang tepi sungai itu disebabkan
oleh naga-naga (yang mewakili para dewa) yang hidup di sungai dibuat marah oleh
kesalahan manusia.
India
Matsya
(Ikan dalam bahasa Sanskerta) adalah Awatara pertama dari Wisnu.
Menurut
Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), mantri dari raja Dravida,
Satyabrata yang juga dikenal sebagai Manu sedang mencuci tangannya di sebuah
sungai ketika seekor ikan kecil masuk ke tangannya dan memohon kepadanya untuk
menyelamatkan nyawanya. Ia meletakkan ikan itu di sebuah bejana, yang tak lama
kemudian menjadi terlalu kecil untuknya. Ia berturut-turut memindahkan ikan itu
ke sebuah tangki, sungai, dan kemudian samudra.
Ikan
itu kemudian memperingatkannya bahwa air bah akan terjadi dalam waktu seminggu
yang akan menghancurkan seluruh kehidupan. Karena itu Manu membangun sebuah
kapal yang ditarik oleh ikan itu ke puncak gunung ketika air bah datang, dan
dengan demikian ia selamat bersama-sama dengan sejumlah "benih
kehidupan" untuk membangun kembali kehidupan di muka bumi.
INDONESIA
Dalam
tradisi Batak, bumi dipikul oleh seekor ular raksasa, Naga-Padoha. Suatu hari,
ular itu lelah akan bebannya dan karenanya melemparkan Bumi ke dalam laut.
Namun Batara Guru menyelamatkan anak perempuannya dengan mengirimkan sebuah
gunung ke laut, dan seluruh umat manusia merupakan keturunannya. Bumi kemudian
diletakkan kembali di atas kepala ular itu. Sejumlah cerita di daerah Maluku,
misalnya pulau Seram, dianggap termasuk bagian catatan air bah dari suku-suku
bangsa Polinesia.
POLINESIA
Ada
beberapa cerita air bah yang dicatat di antara bangsa-bangsa Polinesia. Namun
tak satupun yang mendekati ukuran air bah di Alkitab.
Rakyat
Ra'iatea mengisahkan tentang dua orang sahabat, Te-aho-aroa dan Ro'o, yang
pergi menangkap ikan dan kebetulan membangunkan dewa samudera Ruahatu dengan
mata kail mereka. Dalam kemarahannya, ia bersumpah untuk menenggelamkan ke
dalam laut. Te-aho-aroa dan Ro'o memohon ampun, dan Ruahatu memperingatkan
mereka bahwa mereka dapat lolos hana dengan membawa keluarga mereka ke pulau
kecil Toamarama. Mereka kemudian berlayar, dan di malam hari, pulau itu
tenggelam ke dalam laut, dan baru muncul kembali esok paginya. Tak satupun yang
selamat kecuali keluarga-keluarga ini, yang mendirikan marae (kuil-kuil) suci
yang dipersembahkan kepada dewa Ruahatu.
Sebuah
legenda serupa terdapat di Tahiti. Tak ada alasan yang diberikan untuk tragedy
ini, tetapi seluruh pulau itu tenggelam ke dalam laut kecuali Gunung Pitohiti.
Sepasang manusia berhasil melarikan diri bersama binatang-binatang mereka dan
selamat.
Dalam
sebuah tradisi di kalangan suku Ngāti Porou, sebuah suku Māori di pantai timur
Pulau Utara Selandia Baru, Ruatapu menjadi marah ketika ayahnya Uenuku
mengangkat adik tirinya Kahutia-te-rangi melewatinya. Ruatapu memikat
Kahutia-te-rangi dan sejumlah besar orang muda dari keturunan bangsawan masuk
ke kanonya dan membawa mereka keluar ke laut dan di sana ia menenggelamkan
mereka. Ia memanggil para dewa untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mengancam
akan kembali sebagai gelombang-gelombang besar pada awal musim panas. Sementara
ia bergumul untuk memeprtahankan nyawanya, Kahutia-te-rangi membacakan mantra
yang memanggil ikan paus bungkuk selatan (paikea dalam bahasa Māori) untuk
membawanya ke pantai. Karena itu, ia diubah namanya menjadi Paikea, dan
merupakan satu-satunya orang yang selamat (Reedy 1997:83-85).
Beberapa
versi cerita Māori tentang Tawhaki mengandung episode di mana si pahlawan
menggunakan air bah untuk menghancurkan desa dari dua saudara iparnya yang iri.
Sebuah komentar dalam Polynesian Mythology karya Grey dapat memberikan kepada
orang-orang Māori sesuatu yang tak pernah mereka dengar sebelumnya -
sebagaimana dikatakan oleh A.W Reed, "Dalam Polynesian Mythology"
Grey mengatakan bahwa ketika leluhur Tawhaki melepaskan air bah dari langit,
bumi tenggelam dan seluruh umat manusia musnah - dengan demikian orang Māori
memperoleh versinya sendiri tentang air bah universal (Reed 1963:165, dalam
catatan kaki). Pengaruh Kristen telah menyebabkan munculnya silsilah di mana
kakek Tawhaki, Hema, ditafsirkan kembali sebagai Sem, anak Nuh dari kisah air
bah dalam Alkitab.
Di
Hawaii, sepasang manusia, Nu'u dan Lili-noe, selamat dari sebuah banjir di
puncak Mauna Kea di Big Island (Pulau Besar). Nu'u mempersembahkan kurban
kepada bulan, yang disangkanya telah menyelamatkannya. Kāne, sang dewa
pencipta, turun ke bumi dengan menggunakan pelangi, menjelaskan kekeliruan
Nu'u, dan menerima kurbannya.
Di
Seti, di Seram Utara, percaya bahwa batas-batas tanah mereka adalah batas
setelah kering ke-2 (akibat dari Banjir Besar). Sementara kapata-kapata
(pantun-pantun yang sudah mendarah daging dan menjadi simbol budaya setempat)
berbicara tentang sesorang bernama NUHU, berlayar di pinggir suatu pulau
(hasa-hasa e), melihat tanjung (tanjong e) dan sebagainya. Namun karena
alasan-alasan tertentu maka beberapa kapata tersebut terpaksa jarang dituturkan
di Maluku.
Di
Marquesas, dewa perang yang agung Tu menjadi marah ketika mendengar komentar
kritis dari saudara perempuannya Hii-hia. Air matanya merobek lantai surga
hingga ke dunia di bawahnya dan menciptakan hujan lebat yang menghanyutkan
segala sesuatu yang dilaluinya. Hanya enam orang yang selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar