NAHDATUL ULAMA DALAM DINAMIKA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdatul
Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah. Nahdatul Ulama didirikan dengan tujuan
untuk berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
Wal Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. NU sebagai
infastruktur sosial bangsa dan sebagai ormas sosial keagamaan terbesar di
Indonesia, bahkan di dunia telah berperan aktif dalam membangun SDM bangsa. Hal
ini sebagai implementasi komitmen NU dalam membangun kecerdasan intelektual dan
emosional umat yang berlandaskan nilai-nilai spiritual-moral (moral-spiritual
values) yang menjadi ciri khas NU. Pembangunan moral spiritual umat yang
dikembangkan NU ini merupakan potensi dan kekuatan yang tangguh untuk
dikembangakan dalam rangka pembangunan karakter (character building) generasi
bangsa yang mulai pudar tergerus dan tergeser oleh kebudayaan-kebudayan global
(global culture) atau kebudayaan asing.
Bagi NU persatuan
dan kesatuan merupakan diatas segala-galanya dalam konteks berbangsa dan
bernegara. NU memiliki berbagai makna tentang persatuan dan kesatuan (ukhuwah)
yang terdiri dari Ukhu-wah dinniyah, ukhuwah watho-niyah dan ukhuwah
basyariyah. Berbagai macam ukhuwah ini harus dipahami dan dijalankan secara
seimbang tanpa mengecilkan salah satu dari ketiganya. Berbagai persoalan yang
menimpa bangsa Indonesia saat ini akan dapat diselesaikan dengan cara
mengoptimalkan pemahaman dan implementasi doktrin aswaja dalam konteks beragama
dan berbangsa, yaitu bagaimana semua rakyat Indonesia kususnya warga Nahdliyin
yang menduduki mayoritas warga Indonesia, bisa berfikir, bersikap dan
berperilaku sesuai dengan ajaran, doktrin aswaja yang secara jelas dijadikan
asas oleh organisasi NU.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdiri nya NU ?
2. Bagaimana
peran NU dalam mendirikan NKRI ?
3. Bagaiman
peran NU dalam pembangunan karakter bangsa?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah berdirinya NU
Nahdatul
Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan
organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga
jam’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis massa yang demikian
ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan
dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan
yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan
tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat dengan mengakomodir
seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal
Islam.
Di
awal berdirinya NU hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan tradisionalis
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam Anggaran Dasar-nya
yang pertama, tujuan NU didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab
empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa. Namun sejalan
dengan dinamika warganya, di tahun lima puluhan, NU terlihat dalam kegiatan
politik praktis.
Fajrul
Falaah, salah seorang tokoh muda NU, merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU:
(1) Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan
budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (2) Aktivitas yang
mencerminkan dinamika berpikir kaum muda, dan (3) usaha membela keprihatinan
keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha
menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.
Berbeda
dengan Falaah, Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan
bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada aawl abad ke-20
yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu
terkemuka di tanah Minangkabau. Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa
“Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan
sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini oleh Martin
van Bruinessen dibantah, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang
representatif. Silang pendapat antar sejarawan yang demikian ini merupakan
suatu kewajaran. Mereka mengemukakan preferensi sesuai dengan data yang
ditemukan. Deliar Noer misalnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sangat
mendiskriditkan NU, merujuk pada data sejarah yang cukup kuat. Sebuah catatan
di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang
merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas. Terlepas
dari benar atau tidaknya data sejarah Noer, bagi Martin di samping bukti-bukti
sejarah yang kuat, aspek reasonable juga penting diperhatikan. Dalam kasus
berdirinya NU misalnya, apabila NU merupakan gerakan responsif atas kaum
pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak
berdiri pada tahun belasan, di mana usaha kelompok pembaharu sangat gencar.
Begitu juga Falaah, sebagai penelitian
dari kalangan NU (insider) tak lepas dari kajian teks dan juga kajian sejarah
sosial. Munculnya kelompok studi “tashwrul afkar” di awal abad XX yang
dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian
menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU.
2. Peran NU
dalam Mendirikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Keterlibtan
NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaannya tidak bisa
dipungkiri. Secara doktriner, NU
menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu
yang final. Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus
berlanjut ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942.
Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin
Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondondangan
ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan
pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang
efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan
keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu diabaikan oleh NU.
Alasannya
bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan
kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang
membentuk kantor urusan agama yang membentuk jaringan langsung para kyai
pedesaan dan member pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah,
kewarganegaraan, olahraga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai
tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisi di kalangan kyai.
Siasat
yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap
dengan alas an yang tidak jelas. terjadi kegoncangan di tubuh NU. Kegoncangan
bertambah hebat ketika KH. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan
melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan it uterus terjadi pada ulama-ulama
lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti
Jepang. KH. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yan terjadi dalam NU
dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang. Seperti Saiko Siki Kan,
Gunseikan, dan Shuutyokan.
Untuk
memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia
yakni PETA, PETA diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalngan tak
terkecuali umat Islam para kyai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi PETA,
padahal mereka tahu pembentukan PETA dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang
nebghadapi sekutu yang akan datang ke Jaea? maksudnya orang Indonesia ke PETA
lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengiginkan mendapat
peran politik yang lebih besar di masa yang akan datang, bukan karena ingin
membantu Jepang.
Selain
itu, pemerintah Jepang akan mebubarkan organisasi social-politik-keagamaan yang
tidak mau diajak bekerja sama, sebaliknya yang masih mau diajak bekerja sama
akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan
Masyumi yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan
Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota
Masyumi. Pada tahun 1944, NU pertama kalinya mesuk ke dalam struktur
pemerintahan dengan diangkatnya KH. Hasyim Asy’aru sebagai ketua Shumubu
(Kantor Uurusan Agama). Pada tahun itu juga KH Wahid Hasyim berhasil melobi
Jepang kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu
dilontarkan kerena beberapa medan pertempuran Jepang mengalami kekalahan
terhadap sekutu. Janji itu kemudian di respons secara posisi oleh Pimpinan
Kongres Umat Islam Sedunia, Syekh Muhammad al-Husaini dari Palestina dengan
cara mengerimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa
penuh pemerintah Jepang untuk Jerman, surat itu juga ditembuskan kepada KH.
Hasyim Asy’ari. Dengan cepat KH. Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi
pada tanggal 12 Oktober 1944 yang menghasilkan resolusi ditunjukan kepada
pemerintah Jepang.
Resolusi
tersebut; pertama, mempersiapkan
umat Islam Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan
agama islam. Kedua, mengaktifkan
kekuatan umat islam untuk memastikan terlaksannya kemenangan final dan
mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi
kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agam Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jpeang Raya di jalan
Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara
Jepang dan kepada segenap bangsa Indonesia. Berbagai fasilitas dan kemudahan
yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadrkan masyarakat
akan hak-hak politiknya di masa depan.
Untuk
mematangkan persipan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 26 April
1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Muhammad
Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Wahid Hasyim sebagai anggota.
BPUPKI selain menyusun Undang-Undang dasar (UUD) bakal republik, di dalamnya
juga muncul pembicaraan mengenai bentuk Negara. Polarisasi pendapat didalam
BPUPKI mengenai bentuk Negara ada; satu pihak menginginkan Indonesia menjadi
Negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi Negara kesatuan
nasional yang memisahkan Negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan
dasar-dasar bakal Negara Indonesia.
Sebagian umat
Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan
dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan
tentang bentuk Negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder
demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dengan memisahkan agama dari
Negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. Nilai-nilai agama bisa dimasukan
ke dalam hokum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga
undang0undang yang dihasilakan parlemen sesuai dengan Islam. Klau mayoritas
anggota parlemen bukan umat Islam. Pemikiran Soekarno yang sperti ini, menurut
istilah sekrang subtansialistik, yaitu menginginkan dilaksanakannya ajaran
Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam
pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar Negara Indonesia
didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, Yakni 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme,
perikemanusiaan; 3) permusywaratan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti
begitu saja, perdebatan sengit untuk tentang sila Ketuhanan yang Maha Easa
dengan kewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Tujuan kata terakhir mendapat tentangan nasionali-muslim seperti Wakhid Hasyim,
Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Hatta
menjelang siding PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut
tujuh kalimat dalam piagam Jakrta yang menjadi titi sengketa dengan kelompok
nasionalis-sekuler-kristen. Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim
Sembilan PPKI yang bertugas merumuskan tentang dasar Negara. Sikap ketiga
pemimpin nasionalis muslim tersebut merupakan kelantunan dari kursi KH Wahid
Hasyim, KH. Masykur dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei
1945.
3.
Peran NU dalam pembangunan karakter
bangsa
Kondisi
moral dan mental masyarakat Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Dekadensi
moral hampir terjadi di semua lapisan masyarakat, dari yang pejabat sampai
rakyat biasa, dari kalangan yang tidak terdidik sampai yang terdidik, kalangan
muda sampai yang tua. Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang kejahatan
dan perilaku amoral. Padahal moral dan mental masyarakat akan menentukan jati
diri dan karakter bangsa.
Untuk
memperbaiki kondisi di atas, bukanlah hal yang mudah. Perjuangan untuk
memperbaiki kondisi moral dan pembangunan karakter (character building)
generasi bangsa membutuhkan pengorbanan pikiran, tenaga dari berbagai elemen
bangsa. NU sebagai organisasi yang mempunyai kekuatan sipil yang besar dapat
secara lebih aktif berperan dalam menyelesaikan masalah ini.
Kalau
berbicara masalah peran NU dalam kancah politik nasional dan pendidikan maka
kita akan menemukan fakta yang tak terbantahkan. Dalam maslah kajian keagamaan,
NU juga sudah tidak diragukan lagi, banyak sekali intelektual muda NU yang
sudah berkiprah dalam pembanguan pemikiran keagamaan di negeri ini. Banyak
tokoh dan kader NU yang telah mewarnai perkembangan kajian dan pemikiran
keagamaan di Indonesia.
Disadari
atau tidak, arus globalisasi yang kian deras berdampak cukup signifikan
terhadap berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan lokal dan nilai-nilai moral, jati
diri dan karakter bangsa yang merupakan eksistensi sebuah masyarakat mendapat
tantangan dan serangan yang cukup dahsyat. Di era globalisasi ini, budaya yang
ada didominasi oleh budaya Barat, khususnya budaya Amerika yang sarat dengan
konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Globalisasi yang melanda dunia
ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan
thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam
budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” nilai
kebudayaan. Kondisi ini juga mengikis rasa nasionalisme dan rasa memiliki
(sense of belonging) terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Dengan adanya
tantangan ini, NU dengan kekuatan organisasi dan jaringan lembaga pendidikan
pondok pesantren, lembaga pendidikan ma'aarif yang tersebar di seluruh pelosok
nusantara dapat berperan lebih aktif untuk membangun dan memperkuat karakter
anak bangsa.
Pondok
Pesantren sebagai institusi pendidikan agama bagi masyarakat, telah terbukti
mampu mempertahankan dan meningkatkan perannya dalam menyelesaikan berbagi
permasalahan yang muncul di masayarakat, terutama masalah dekadensi moral
(moral decadence) yang semakin hari semakin parah. Dengan prestasi ini, sudah
seharusnya pesantren dapat dimanfaatkan sebagai penyeimbang (balance) dan
pemberi warna kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai religious (religious
values), keindahan moral dan kedalaman spiritual. Dengan penanaman nilai moral
spiritual agama, maka diharapkan akan dapat membantu pembangunan moral dan
karakter generasi bangsa Indonesia.
Pembangunan
karakter bangsa sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Pada dasarnya sistem
pendidikan nasional yang dikembangkan di Indonesia bermaksud dan bertujuan
bukan hanya untuk mencerdasrkan intelektualitas generasi bangsa, akan tetapi
juga bermaksud mencetak generasi yang mempunyai ketinggian moral dan
ketangguhan jati diri karakter. Oleh karena itu, pemantapan dan penguatan
jaringan pesantren NU yang tersebar diseluruh nusantara perlu diperhatikan dan
mendapat perhatian serius.
Sebagaimana
maklum, secara umum, proses pendidikan meliputi tiga aspek pokok, yaitu
afektif, kognitif dan psikomotorik. Aspek afektif yakni yang berkaitan dengan
sikap, moral, etika, akhlak, manajemen emosi. Sementara aspek kognitif yakni
yang berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, analisis.
Sedangkan aspek psikomotorik adalah yang berkaitan dengan praktek atau aplikasi
apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Lembaga
lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU selama ini dinilai telah
mampu menyeimbangkan pencapaian aspek kognitif, afektif fan psikomotorik. Agar
kekuatan tersebut bisa membawa manfaat yang lebih besar dan luas dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya, NU diharapkan bisa mengoptimalkandan memaksimalkan
pesantren dalam membentuk dan menyeimbangkan antara kekuatan akal, sikap dan
keterampilan. Harapan ini juga pernah disampaikan oleh Menteri Pendidikan
Nasional M. Nuh pada saat pembukaan Mukatamar NU di Makasar beberapa waktu yang
lalu.
Bukan
hanya itu, generasi bangsa perlu dibekali dengan social skills (kemampuan
kemasyarakatan) yang cukup. Hal inipenting agar mereka dapat memperkuat jiwa
sosial dalam menyelesaikan berbagai permasalah yang muncul dalam kehidupan
masyarakat. Pendidikan Pondok Pesantren yang menjadi cirri khas NU merupakan
institusi pendidikan agama, di dalamnya sarat dan akrab dengan iklim kehidupan
yang penuh kesederhanaan, kemandirian, keteguhan, kesabaran dan keuletan serta
kental dengan nilai-nilai religius dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang saat
ini mulai hilang dari kehidupan bangsa kita karena tergeser oleh nilai-nilai
kebudayaan global (global culture).
NU
dengan kekuatan organisasi dan jaringan pondok pesantrennya harus mampu
meningkatkan perannya dalam membentengi masyarakat dari kerusakan moral dengan
mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat. Upaya ini
diharapkan dapat mengembalikan masyarakat dari keterperosokan moral dan
memperteguh jati diri dan membangun karakter generasi bangsa yang tangguh.
Dengan demikian mereka dapat mempertahankan nilai-nilai moral dan kebudayaan
dan memperteguh rasa nasionalisme bangsa Indonesia di tengah arus gelobalisasi
yang saat ini sedang melanda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa Nahdatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang
berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah.
Nahdatul Ulama berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur dan merupakan
organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Keterlibatan NU dalam
pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya tidak bisa
dipungkiri. Secara doktriner, NU menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan
bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Serta pembangunan karakter
bangsa sangat erat kaitannya dengan pendidikan, yang bermaksud dan bertujuan
bukan hanya untuk mencerdasrkan intelektualitas generasi bangsa, akan tetapi
juga bermaksud mencetak generasi yang mempunyai ketinggian moral dan
ketangguhan jati diri karakter.
B. Saran
Dalam
rangka membangun karakter bangsa yang kuat, pemerintah diharapkan unutk lebih
memerhatikan sarana pendidikan terkhusnya pada pesantren-pesantren milik yang
dikelola oleh Organisasi kemasyakatan seperti NU dan Muhammadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa, I. 2012. “NU dan Pembangunan Karakter Bangsa”. (Online) http://mushthava.blogspot.com/2012/03/nu-dan-pembangunan-karakter-bangsa.html
Hadi, H. 2011. “Bahtsul
Masail NU”. (Online) http://khotimhanifu
dinnajib.blogspot.com/2011/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Hermansyah. 2013. “Merekonstruksi Peran Kebangsaan NU”. (Online) www.facebook.com/GenerasiMuda
Nu?fref=nf.
Afriyadi, Y. 2013. “Amal Bakti NU terhadap Bangsa dan Negara”. (Online) www.gudangmakalahku.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar