Telah kita simak di
tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana Daulah Shafawiyah didirikan, ideologi yang
mereka sebarkan, dan kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan terhadap umat
Islam di negaranya maupun di dunia secara umum. Di era modern ini, ada sebuah negara
yang mengusung ideologi sama dengan Daulah Shafawi yakni ideologi Syiah, negara
tersebut menamakan diri mereka dengan Republik Islam Iran.
Terletak
di geografi yang sama dengan pusat pemeritanhan Daulah Shafawi, Iran berusaha
menggantikan peranan kerajaan Syiah di abad pertengahan itu dengan
mengaplikasikan kebijakan keluarga Shafawi di era modern ini. Pada tulisan
ketiga ini, topik utamanya adalah tentang siapakah yang memerintah Iran. Dengan
mengetahui siapakah yang memerintah Iran, akhirnya penulis serahkan kepada para
pembaca menggeliat dalam daya kritisnya mendudukkan posisi Iran di dunia Islam
atau bahkan politik internasional.
Khomeini Pemimpin
Revolusi
Pada
tahun 1979, Khomeini memimpin revolusi Syiah di Iran yang menggulingkan
diktator Syah Pahlevi. Dengan jatuhnya Syah Pahlevi, tokoh utama Syiah ini
menduduki posisi tertinggi di tanah Persia tersebut. Khomeini memiliki kekuasaan
sebagai tokoh politik dan juga memegang otoritas penuh dalam permasalahan
agama, bisa Anda bayangkan betapa besarnya kekuasaan yang dipegang Khomeini.
Namun ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak membuatnya lebih baik dari Syah
Pahlevi, bahkan Khomeini lebih diktator dibanding pendahulunya ini.
Pada
masa pemerintahannya, Khomeini memunculkan sebuah konsep baru dalam tatanan
negara Iran, ia menamakan konsep dengan wilayatul faqih. Wilayatul faqih adalah
sebuah otoritas yang semestinya disandang oleh imam ma’shum (yang terjaga dari
dosa). Orang-orang Syiah meyakini kema’shuman Ali bin Abi Thalib, kedua
putranya Hasan dan Husein, kemudian para imam dari keturunan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka sebut dengan imam yang dua belas. Namun, pada masa
imam ke-11, Imam Hasan al-Askari wafat pada tahun 260 H, ia wafat dalam keadaan
tidak ada seorang yang disebut imam ma’shum. Syiah pun berpecah menjadi banyak
kelompok karena permasalahan ini. Di antara kelompok tersebut adalah Syiah
Itsna Asyariyah (Syiah 12 imam).
Syiah
Itsna Asyariyah meyakini bahwa Imam al-Askari menunjuk anaknya yang masih
kecil, yang usianya belum genap 5 tahun, sebagai imam ma’shum penerusnya.
Kemudian imam ke-12 memasuki sebuah ruangan bawah tanah dan menghilang.
Orang-orang Syiah 12 imam meyakini bahwa sang imam masih berada di tempatnya
dan akan keluar di akhir zaman kelak. Dialah yang disebut Mahdi al-Muntazhar
(sang Mahdi yang ditunggu). Menurut keyakinan Syiah tidak diperbolehkan
mendirikan negara, menunjuk pemimpin, menegakkan syiar-syiar agama, berjihad,
dll. tanpa adanya komando dari Imam Mahdi yang masih ditunggu kehadirannya. Nah
di sinilah wilayatul faqih hasil ijtihad dari Khomeini memainkan peranannya.
Wilayatul Faqih
Khomeini
membuat wilayatul faqih yang ia anggap memiliki fungsi yang sama dengan funsi
imamah (kepemimpinan para imam) di saat mereka ada –mendirikan negara,
mengangkat pemimpin, dll.-. Imamah juga memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh kenabian. Kenabian terbatas oleh waktu-waktu tertentu sedangkan
imamah terus belangsung hingga sekarang. Dari sini, muncul klaim yang lancang
dari Khomeini dalam bukunya al-Hukumah
al-Islamiyah, ia mengatakan, “Salah satu hal yang penting dalam madzhab kami
bahwa para imam memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang malaikat
yang paling mulia dan nabi-nabi yang diutus.”. Maksudnya imam kami lebih mulia
dari malaikat yang paling mulia sekalipun semisal Jibril dan lebih mulia dari
para nabi-nabi termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh
karena itu, ketaatan kepada wilayatul faqih adalah ketaatan yang mutlak.
Doktrin ini benar-benar menjadikan kekuasaan Khomeini adalah kekuasaan yang
absolut lebih dari diktator Syah Pahlevi bahkan lebih diktator dari
diktator-diktator Arab semisal Husni Mubarak, Muamar Kadafi, Sadam Husein, dll.
karena kebijakan wilayatul faqih adalah kebijakan para imam ma’shum atau bahkan
kebijakan Tuhan, melanggarnya berarti melanggar perintah imam ma’shum atau
perintah Tuhan. Tidak ada seorang diktator pun semisal nama-nama di atas
menyebutkan bahwa melanggar perintah mereka berarti melanggar perintah Tuhan.
Tidak heran, ulama-ulama Syiah yang menjabat di wilayatul faqih termasuk
Khomeini digelari “ayatollah” sebagai legalisasi kebijakan-kebijakan dan image di mata rakyat. Agar kediktatoran
wilayatul faqih sedikit tertutupi, maka ditunjuklah seorang presiden yang
dikesankan sebagai pemimpin Negara Iran.
Sebagai
contoh bahwa presiden Iran tidak memiliki otoritas terhadap negaranya dan
wilayahtul faqih lah yang memiliki peranan. Pasca revolusi, Iran dipimpin oleh
Presiden Bani Sadr. Ia memenangkan pemilu dengan mendapatkan 78,9 %. Ia
bukanlah seorang mullah (pemuka agama), ia seoarang ekonom lulusan dari
Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Dengan suara yang begitu besar Bani Sadr
mengira ia akan begitu leluasa menenutkan kabinetnya. Namun suara kemenangan
yang begitu besar itu tidak berarti apa-apa, Sadr tidak memiliki daya dan upaya
sedikit pun menentukan kebijakan pemerintahannya. Setiap permasalahan kecil
maupun besar haruslah sesuai dengan yang digariskan oleh Khomeini sang pemimpin
revolusi. Satu tahun menjabat sebagai presiden Iran, Bani Sadr pun dilengserkan
oleh parlemen. Ini nasib seorang presiden yang tidak sejalan dengan Khomeini
dan wialyatul faqihnya walaupun suaranya pendukungnya luar biasa besar, 78,9%.
Ahlussunnah di Masa
Republik Syiah Iran
Ahlussunnah
di Iran memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah di masa
Daulah Shafawi. Mereka mengalami penyiksaan, dijebloskan ke penjara, dan
dibunuh, mereka yang bebas pun hidup layaknya di penjara tidak memiliki
kebebasan. Semua itu dengan sebab mereka seorang Ahlussunnah wal Jamaah atau
Sunni.
Di
Teheran, ibu kota Iran, tidak ada satu pun masjid Ahlussunnah yang
diperkenankan untuk didirikan, padahal ada 7 juta orang Sunni yang berdomisili
di kota ini. Sedangkan orang-orang Nasrani saja memiliki 12 gereja dan Yahudi
diizinkan membangun 4 tempat ibadah di ibu kota negeri para mullah ini (Ahwal
Ahlussunnah fi Iran, Hal. 45-73).
Demikianlah
ketika ideologi Daulah Shafawi dan Iran saat ini sama, maka kebijakan yang
dilakukan pun akan sama yang membedakan hanyalah cara penerapannya karena
menyesuaikan perkembangan zaman.
Sumber: islamhistory.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar