Tidak berlebihan jika
kita katakan berdirinya Daulah Shafawi di Iran merupakan bencana bagi umat
Islam secara umum dan Iran secara khusus. Iran yang selama 900 tahun merupakan
wilayah Sunni yang banyak menyumbang nilai-nilai peradaban Islam dan mencetak
imam-imam besar Ahlussunnah wal Jamaah semisal Imam Bukhari dan Muslim dalam
ilmu hadist, Imam Syibaweih dan al-Farahidi dalam ilmu gramatika bahasa Arab,
al-Biruni dalam ilmu-ilmu eksak, dll. Namun, dengan berdirinya Daulah Syiah
Shafawi di Iran, jejak-jejak kemajuan yang sudah digariskan oleh ilmuan-ilmuan
Islam berubah arah. Arah kemajuan yang selama ini telah dicapai, berubah
menjadi ketidakstabilan karena gejolak permusuhan dan konflik.
Pemaksaan doktrin
Syiah oleh anak keturanan Shafiyuddin Ishaq al-Ardabili di wilayah Iran yang
tatkala itu mayoritas Sunni membuahkan ketidak-adilan, pertumpahan darah, dan
pembantaian.
Jadi, perhatikanlah
sejarah Syiah di Iran selama masa pemerintahan Daulah Shafawiyah (907-1148
H/1507-1735 M). Kebijakan mereka adalah menindas Ahlussunnah wal Jamaah di
wilayah mereka, menampakkan permusuhan dan peperangan terhadap Turki Utsmani,
dan menjalin kerja sama dengan negara-negara Salib Eropa.
Kebijakan Terhadap
Ahlussunnah wal Jamaah
Kebijakan Daulah
Shafawi terhadap umat Islam dapat kita ketahui dengan melihat muamalah mereka
terhadap penduduk Kota Tabriz, kota besar yang mayoritas penduduknya adalah
Ahlussunnah wal Jamaah. Ketika pendiri Daulah Shafawi, Ismail ash-Shafawi,
masuk ke Kota Tabriz, maka bagi siapa yang menyelisihi dan menolak ajaran
Syiah, ia akan berhadapan dengan kematian. Diriwayatkan bahwa jumlah penduduk
Tabriz yang terbunuh saat itu lebih dari 20.000 orang dalam keadaan dirusak
anggota tubuhnya (al-Khouli, 1981: 51).
Pembantaian terhadap
umat Islam oleh Daulah Shafawi tidak hanya berhenti di Tabriz, setelah
menderita kekalahan dari Uzbek di Kota Mahmud Abad –sebuah daerah dekat dengan
Kota Mour-, Ismail ash-Shafawi melampiaskan kekesalannya dengan membantai
penduduk Kota Mour. Ia mengumumkan ideologi resmi daerah tersebut adalah Syiah
dan memaksa penduduk setempat yang mayoritas Sunni berubah menjadi Syiah. Untuk
itu ia mengganti kurikulum di sekolah-sekolah dengan akidah Syiah dan
menyebarkannya di kalangan masyarakat (Fauzi, ash-Shafawiyun, akhbaraka.net).
Pada masa Syah Abbas
I, ia melarang penduduk Iran untuk menunaikan haji ke Mekah al-Mukaromah dan
memaksa penduduknya untuk berziarah ke akam Imam Ali bin Musa ar-Ridha di kota
suci Syiah, Kota Masyhad di Iran. Kebijakan ini dilakukan agar penduduk Iran
tidak masuk ke wilayah Kerajaan Sunni Turki Utsmani dan membayar visa
perjalanan ke kerajaan Sunni tersebut (Jum’ah, 1980: 101).
Terlalu banyak
kisah-kisah intimidasi, pembunuhan, dan pelanggaran hak-hak asasi yang
dilakukan oleh Daulah ash-Shafawi terhadap umat Islam untuk kita tuliskan satu
per satu harus di artikel yang singkat ini. Cukuplah tiga contoh di atas
menjadi pelajaran bagi kita betapa keras permusuhan Syiah terhadap umat Islam
terlebih ketika mereka memegang kekuasaan.
Kerja Sama Daulah
Shafawi dengan Eropa
Persekongkolan Daulah
Syiah Shafawi dengan orang-orang Salib telah terjadi sejak mula. Khalifah
pertama mereka, Ismail ash-Shafawi telah menjalin kontak kerja sama militer
dengan pemerintah Portugal melalui Alfonso de Alburqueque. Kerja sama itu
berlanjut pada masa Syah Abbas I, bahkan kerja sama ini memasuki ranah yang
lebih sensitif yakni masalah keyakinan. Syah Abbas I adalah khalifah Shafawi
yang pertama yang mengizinkan pembangunan gereja di wilayahnya, ia juga
mengundang para misionaris dari kalangan pendeta dan biarawan untuk mendakwahkan
agama Kristen di wilayahnya. Syah Abbas I benar-benar memuliakan semua orang
Eropa yang datang ke negerinya, termasuk para pedagang Eropa. Para pedagang ini
mendapat perlakuan khusus dengan dibebaskan dari pajak (Makarios, 2003:
154-156). Sejak saat itu, datanglah berduyun-duyun para penguasa dan pedagang
Kristen Eropa ke tanah Iran.
Ketika dua orang
utusan Inggris; Antonio Sherly dan Robert Sherly, datang ke Iran, Syah Abbas I
sangat memuliakannya dan memerintahkan semua orang di kerjaan Shafawi untuk
memuliakan dua orang tamu dari Inggris ini. Utusan Inggris ini datang ke Iran
dalam rangka menjalin kerja sama militer antara kedua kerajaan ini. Inggris
bersedia melatih militer Shafawi untuk berperang melawan Utsmani. Selain itu
Inggris juga menggalang suara negara-negara Eropa untuk bersekutu dengan
Shafawi memerangi Utsmani (Makarios, 2003: 154-156). Bahkan Iran sendiri
mengadakan pendekatan dengan Paus Roma untuk mencari simpatik negara-negara
Kristen Eropa dalam membantu misinya menghancurkan Turki Utsmani.
Paus Paul V pun
mengirim surat kepada Syah Abbas I sebagai jawaban dan sambutannya atas
keinginan Syah Abbas I menaklukkan Turki Utsmani. Dalam suratnya Paus Paul V
menyatakan:
– Betapa inginnya Paus
Paul V turut andil dalam melemahkan Turki Utsmani, dan betapa ia menginginkan
mewujudkan hal tersebut. Paus akan berusha menyatukan raja-raja Kristen agar
menjadi satu aliansi dalam memerangi Turki Utsmani dari arah Barat dan Syah
Abbas dari arah Timur.
– Paus akan
mengirimkan para insinyur dan ahli militer ke Iran untuk memperkuat militer
Iran.
– Paus meminta agar
Iran dan Roma aktif saling mengirimkan duta-duta mereka terkait permasalahan
ini.
– Paus meminta agar
Syah Abbas I bersikap lemah lembut terhadap umat Nasrani di Iran dan selain
Iran, tidak menghukum orang Islam yang murtad ke agama Kristen, dan tidak
memaksa orang Kristen masuk ke dalam Islam (Jum’ah, 1980: 271-272).
Inilah beberapa kerja
sama yang dilakukan orang-orang Syiah Shafawi dengan orang-orang non-Islam
untuk menghancurkan simbolisasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah pada abad
pertengahan Turki Utsmani. Demikian juga halnya pada era modern ini, betapa
giatnya Iran sebagai simbolisasi Syiah di dunia menghancurkan simbolisasi
Ahlussunnah yaitu Kerajaan Arab Saudi. Mereka menghancurkan image negeri sunnah
ini melalui pemberitaan-pemberitaan negatif yang membuat umat Islam tidak
simpatik bahkan benci terhadap negara Ahlussunnah ini. Iran juga melakukan tipu
daya, tampil seolah-olah merekalah pahlawan Islam di era modern saat ini dengan
lantang melawan Amerika dan Israel walaupun kenyataannya negara Syiah ini sama
sekali belum pernah menuntaskan retorika mereka dengan peperangan.
Ibnu Taimiyah
memberikan paradigma yang baik sekali tentang sikap Syiah terhadap umat Islam
Ahlussunnah wal Jamaah. Ia mengatakan, “Rafidhah (Syiah) itu menjadikan
orang-orang yang memerangi Ahlussunnah sebagai teman; mereka bekerja sama
dengan Tatar dan Nasrani. Mereka juga menjalin perdamaian dengan orang-orang
Eropa… …Apabila umat Islam menang atas Tatar, mereka (Syiah) pun berduka dan
bersedih. Sebaliknya, kalau Tatar yang menang, mereka bersuka cita dan
bahagia…” (Ibnu Taimiyah, 28: 336-337).
Di tengah bencana dan
musibah yang diberikan oleh Syah Abbas I terhadap dunia Islam, Republik Syiah
Iran sekarang ini malah menganggap tokoh antagonis ini sebagai pahlawan
nasional mereka, mengangkat derajat negara mereka, mewujudkan harapan, dan
symbol perlawanan terhadap muslim Sunni.
Penutup
Syiah kembali
mengulangi seajrah mereka, bekerja sama dengan orang-orang yang memusuhi Islam
untuk menghancurkan umat Islam. Contoh nyata adalah apa yang dilakukan oleh
negara Irak saat ini dengan pemimpin Syiah mereka Presiden Nouri al-Maliki.
Pemerintah Irak
bersekutu dengan penjajah Amerika melakukan kejahatan terhadap muslim Sunni di
negeri 1001 malam tersebut. Mereka menghapus pemahaman Sunni di Irak dan
memaksakan penduduknya untuk menerima akidah Syiah, sama persisi seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Shafawi terdahulu.
Semoga Allah
melindungi negeri kita Indonesia dari kejahatan orang-orang Syiah, semoga umat
ini tidak mudah ditipu dengan slogan-slogan persatuan yang pada akhirnya adalah
penyesalan.
Sumber: islamhistory.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar