Dalam perjalanan sejarah
Islam terdapat beberapa negeri yang memiliki pemikiran yang menyimpang dan
melakukan kekerasan terhadap umat Islam untuk memaksakan pemikiran mereka.
Seperti yang dilakukan negeri-negeri berpaham Syiah semisal; Daulah Fatimiyah, Qaramithah,
Buwaihiyah, dan Shafawiyah. Cara negeri-negeri ini bergaul dengan masyarakat
Islam yaitu dengan cara permusuhan, menolak pemikiran-pemikiran pihak lain
dengan kekerasan dan terorisme, siapa saja yang menolak pemikiran mereka, maka
kematian adalah jawaban yang tak terbantahkan. Selain itu, negara-negara ini
tidak malu-malu menjalin aliansi dengan negara-negara Salib saat Perang Salib
antara muslim dan Kristen sedang berkecamuk.
Oleh
karena itu, apa yang hendak kami sampaikan ini sangat penting untuk kita petik
hikmahnya agar kita bisa memahami realitas kekinian dengan membandingkan apa
yang terjadi pada sejarah kita. Tidak diragukan lagi, dan kita melihat dengan
mata kepala kita bahwa apa yang terjadi di masa lampau terulang kembali di era
modern ini. Sulit bagi kita memahami apa yang terjadi saat ini, kecuali dengan
membandikannya dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mirip keadaannya
dengan masa kini.
Jika
kita mendalami sejarah, maka kita bisa menentukan sikap dimana kita akan
meletakkan kaki kita. Dengan memahami sejarah Daulah Shafawi, maka kita bisa
melihat negara mana di era modern ini yang rekam jejaknya mirip dengan Daulah
Shafawi.
Siapakah Yang Disebut
Shafawi?
Nasab
orang-orang Shafawi merujuk kepada Shafiyuddin Ishaq al-Arbadili (650-735
H/1251-1334 M), ia adalah kakek kelima dari Syah Ismail as-Shafawi, pendiri
Daulah Shawafiyah di Iran. Ardabil adalah sebuah wilayah yang terletak di
Azerbaijan. Wilayah itu banyak dihuni oleh orang-orang Turki dan Armenia atau
secara umum bangsa Turk menghuni daerah tersebut.
Sebagian
orang menyatakan bahwa nasab Shafiyuddin Ishaq al-Arbadili sampai kepada salah
seorang putra ahlul bait, Musa bin Ja’far rahimahullah, orang
Syiah menyebut beliau dengan Imam Musa al-Kazhim. Namun pendapat ini disanggah
oleh para sejarawan dengan beberapa alasan:
–
Istri dari Shafiyuddin Ishaq al-Ardabili, yang merupakan kerabatnya yang paling
dekat tidak mengetahui nasab suaminya sampai kepada Musa al-Kazhim ‘alaihissalam(Tarikh
ash-Shafawiyin wa Hadharatihim, Hal: 29).
–
Para sejarawan Syiah di masa hidup Shafiyuddin Ishaq al-ardabili, tidak pernah
menuliskan bahwa ia termasuk ahlul bait dari keturunan Musa bin Ja’far (Shilatun
baina Tasawwuf wa Tasyyau’, Hal: 140.).
–
Penulis-penulis pada masa Daulah Shafawi menisbatkan nasab Shafiyuddin Ishaq
kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib, namun anaknya, Musa bin Shafiyuddin
Ishaq, tidak tahu nasab ayahnya ini terhubung ke Husein atau Hasan.
–
Pengakuan nasab tersebut hanya bertujuan politis untuk menjadi penguasa dan
mendapat simpatik rakyat.
Berdirinya Kerajaan
Shafawi, Rakyat Dipaksa Menjadi Syiah
Sebelum
Daulah Syiah Shafawi berkuasa di Iran, wilayah tersebut dikuasai oleh
orang-orang Mongol Dinasti Ilkhan. Madzhab resmi negeri ini adalah Ahlussunnah
namun sudah terkontaminasi dengan paham tasawwuf.
Pada
masa Shafiyuddin Ishaq, situasi politik di Iran dan sekitarnya dalam kondisi
tidak stabil, rakyat merasa tidak puas terhadap pemerintahnya, perbuatan keji
tersebar di kalangan penguasa, dll. Syiah membaca hal ini sebagai peluang
mereka. Pada awalnya Syiah hanya sebagai gerakan keagamaan, namun pada masa
al-Junaid –cucu Shafiyuddin Ishaq- gerakan madzhab ini berubah menjadi gerakan
politik dan Sultan Haidar menetapkan bahwa nasab keluarga Shafawi bersambung
dengan Musa bin Ja’far al-Kazhim (Tarikh ad-Daulah ash-Shafawiyah fi
Iran,
Hal: 38).
Deklarasi
Syiah sebagai gerakan politik atau pengakuan masuknya kader Syiah dalam ranah
politik bertujuan untuk memperluas pengaruh mereka dan sebagai sinyal
perlawanan terhadap Dinasti Ilkhan yang mulai sakit. Gerakan perlawanan mereka
dimulai pada masa Fairuz Syah yang memimpin revolusi perlawanan terhadap Ilkhan
dan puncaknya dicapai pada masa Syah Ismail ash-Shafawi dengan berdirinya
Daulah Syiah ash-Shafawi tahun 1501. Saat itulah madzhab resmi Iran berganti
menjadi Syiah, dan rakyat dipaksa untuk memeluk pemahaman ini. Syah Ismail
tidak peduli bahwa mayoritas rakyatnya adalah orang-orang berpaham Ahlussunnah.
Ia mengerahkan seluruh kemampuan dan pengaruhnya untuk memaksa warga beralih
madzhab menjadi Syiah.
Tidak
berhenti memberlakukan kebijakan tersebut di dalam negerinya, Syah Ismail juga
berupaya menyebarkan paham Syiah di Daulah Ahlussunnah seperti Daulah Utsmaniyah.
Masyarakat Utsmani menolak keras ajaran Syiah yang pokok pemikirannya adalah
mengkafirkan para sahabat Nabi, melaknat generasi awal Islam, meyakini adanya
perubahan di dalam Alquran, dll. Ketika Syah Ismail memasuki wilayah Irak, ia
membunuhi umat Islam Ahlussunnah, menghancurkan masjid-masjid, dan merusak
pekuburan.
Pemimpin
Utsmaniyah, Sultan Salim, menanggapi serius upaya yang dilakukan oleh Syah
Ismail terhadap rakyatnya. Pada tahun 920 H/1514 M, Sultan Salim membuat
keputusan resmi tentang bahaya pemerintah Iran ash-Shafawi. Ia memperingatkan
para ulama, para pejabat, dan rakyatnya bahwa Iran dengan pemerintah mereka
ash-Shafawi adalah bahaya nyata, tidak hanya bagi Turki Utsmani bahkan bagi
masyarakat Islam secara keseluruhan. Atas masukan dari para ulama, Sultan Salim
mengumumkan jihad melawan Daulah Shafawiyah. Sultan Salim memerintahkan agar
para simpatisan dan pengikut Kerajaan Shafawi yang berada di wilayahnya
ditangkap dan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat dijatuhi sangsi
hukuman mati (Juhud al-Utsmaniyin li Inqadz al-Andalus).
Persekutuan Daulah
Shafawiyah dengan Pasukan Salib Melawan Umat Islam
Peperangan
antara Daulah Syiah Shafawi dengan umat Islam yang diwakili Turki Utsmani pun
benar-benar terjadi. Sadar bahwa Turki Utsmani begitu besar untuk ditaklukkan,
ash-Shafawi menjalin sekutu dengan orang-orang kafir Eropa yakni orang Kristen
Portugal kemudian Kerajaan Inggris. Di antara poin kesepatakan kedua kelompok
ini adalah Portugal membantu Shafawi dalam perang terhadap Bahrain, Qathif, dan
Turki Utsmani.
Panglima
Portugal, Alfonso de Albuquerque, mengatakan, “Saya sangat menghormati kalian
atas apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang Nasrani di negeri kalian.
Sebagai balas jasa, saya persiapkan armada dan tentara saya untuk kalian dalam
menghadapi Turki Utsmani di India. Jika kalian juga ingin menyerang
negeri-negeri Arab atau Mekah, saya pastikan pasukan Portugal ada di sisi
kalian, baik itu di Laut Merah, Teluk Aden, Bahrain, Qathif, atau di Bashrah,
Syah Ismail akan melihat saya di Pantai Persia dan saya akan melakukan apa yang
dia inginkan.” (Qira-ah Jadidah di Tarikh
al-Utsmaniyin).
Tawaran
kerja sama Portugal ini bukanlah sesuatu yang tanpa pamrih, mereka menginginkan
membangun sebuah pangkalan di Teluk Arab. Bantuan kerja sama militer ini juga
menjanjikan pembagian wilayah taklukkan; Shafawi mendapatkan Mesir dan Portugal
diiming-imingi dengan tanah Palestina (Qira-ah Jadidah di Tarikh
al-Utsmaniyin). Pasukan Salib Portugal mengtahui, bekerja sama dengan
negeri-negeri muslim Teluk atau mengadakan kontak senjata dengan mereka akan
berbuah kegagalan terhadap misi mereka. Shafawi adalah pilihan tepat bagi
mereka untuk masuk memuluskan misi mereka di dunia Arab.
Selain
bekerjasama dengan Portugal, Shafawi juga menjalin hubungan dengan Kerajaan
Inggris untuk memerangi umat Islam di Irak. Di Irak mereka membunuh 7000 warga
Ahlussunnah dari Suku Kurdi, melarang mereka menunaikan ibadah haji ke Mekah,
dan memaksa umat Islam di sana untuk berhaji ke Kota Masyhad, Iran, kota yang
mereka yakini tempat kelahiran imam mereka, Imam Ali bin Musa ar-Ridha.
Inilah
fakta yang terjadi, dibalik slogan-slogan persatuan ternyata ada tikaman dari
belakang. Di balik kesan pahlawan, Syiah bagaikan serigala yang mengindati
domba-domba yang akan dimangsa.
Pelajaran:
Sejarah
mengajarkan kepada kita sebuah pengalaman berharga, betapa orang-orang Syiah
melalui Daulah Shafawiyah (dan Daulah Fatimiyah, Qaramithah, dll) menaruh
kebencian terhadap umat Islam. Mereka tidak pernah mengumandangkan jihad
terhadap tentara salib berbeda halnya dengan umat Islam, mereka benar-benar
menunjukkan permusuhan, melakukan pembunuhan dan pengrusakan, serta
mengumandangkan peperangan. Sebaliknya mereka menjalin hubungan yang harmonis
dengan pasukan salib dan Yahudi, bahkan terhadap orang-orang majusi penyembah
api.
Hal
serupa kita dapatkan di era modern ini, dimana kerajaan Shafawi modern,
Republik Syiah Iran, melakukan hal yang sama dengan pendahulunya. Mereka
berteriak-teriak lantang memerangi Amerika dan Israel, tapi tidak pernah kita
dapati mereka berperang melawan Amerika dan Yahudi di Palestina. Sementara
ribuan bahkan jutaan Ahlussunnah mereka bunuh. Dengan kekuatan media, mereka
putar balikkan fakta bahwa negara-negara Ahlussunnah lah yang menjadi kaki
tangan Barat Amerika dan pelindung Israel.
Pelajaran
lainnya adalah Syiah selalu memanfaatkan instabilitas politik di suatu negeri
untuk mencuri kekuasaan. Mereka memanfaatkan status ketidakpercayaan rakyat
terhadap pemerintahnya dengan iming-iming perubahan dan janji manis, namun
kenyataannya jauh lebih parah dari yang kita bayangkan. Semoga Allah senantiasa
melindungi negeri kita dari maker-makar yang dibuat oleh orang-orang Syiah..
Sumber: islamhistory.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar