Tuan Presiden Suharto,
Bersama ini saya ingin
mengingatkan Tuan terhadap segala sesuatu yang nampaknya oleh Tuan akan
dilupakan. Hal hal yang akan dikemukakan ini saya anggap sebagai kewajiban bagi
saya untuk menjelaskannya secara benar karena saya justru mengikuti
peristiwa-peristiwa di In*donesia itu dari dekat.
Barangkali sementara orang
akan berpendapat akan lebih baik kalau saya diam seribu bahasa seperti Sphinks
(arca batu di Mesir) daiam hal ini. Akan tetapi karena saya tanggung jawab maka
saya harus melakukan hal ini biar membawa resiko betapapun besrnya terhadap
diri saya. Inipun karena makin lama di seluruh dunia maupun di Indonesia
sendiri banyak tersebar cerita-cerita palsu yang disebarkan tentang
peristiwa-peristiwa di Indonesia itu sehingga membeberkan keadaan yang
sebenarnya itu merupakan kewajiban saya.
Karena itulah saya kirimkan
surat terbuka ini kepada Tuan dalam kedudukan saya sebagai warga negara
Indonesia. Selain itu surat terbuka yang saya kirimkan kepada tuan ini termasuk
segala isinya adalah sepenuhnya tanggung jawab saya dan tidak ada sangkut pautnya
dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang terdahulu.
Sebenarnya agaknya sudah
terlambat untuk mempersoalkan kembali tentang para Perwira yang telah
dinyatakan sebagai “kontra revolusi” atau pemberontak pemberontak terhadap
Negara dimana mereka telah sama dihukum mati.
Selama ini saya selalu
berpendirian tidak sependapat dengan adanya dalil bahwa ” yang berkuasa itu
selalu benar” (power can do no wrong). Sikap inipun sama sewaktu Presiden
Soekarno berkuasa Saya berpendapat bahwa seorang Kepala Negara itu mesti
dikerumuni oleh orang orang yang mendukungnya. Begitu juga halnya dengan Tuan
bahwa di sekeliling Tuan itu banyak orang-orang berkerumun yang pada umumnya
tidak berani membuka mulutnya berpura-pura taat dan tunduk bahkan ada yang menjilat
yang pada hakekatnya mereka bertujuan untuk mendapatkan kesempatan berkuasa
lebih banyak Karena itulah apa yang sebenarnya terjadi di sekitar Tuan sulit
akan terungkap.
Pertama-tama dalam surat
terbuka saya ini saya ingin mengemukakan apa yang disebut “proses” dimana
banyak orang telah dibunuh karena dituduh melakukan kejahatan terhadap Negara.
“proses” ini yang sebenamya terjadi di luar norma-norma Hukum dan Keadilan
lebih tepat untuk disebut “teror dan kekerasan”
Dan mereka orang-orang yang
tidak puas dan tidak mau bicara sewaktu kekuasaan Soekarno maka setelah situasi
berubah lalu bersikap tidak bertanggung jawab dan turut serta melakukan
pembunuhan dan teror. Dalam hal ini Tuan telah membiarkahnya. Andai kata nanti
pada suatu ketika kedudukan Tuan diganti oleh orang lain sudah tentu akan
terjadi hal yang sama dimana pembantu-pembantu Tuan yang penting sipil maupun
militer termasuk mungkin Tuan sendiri akan mendapat perlakuan yang sama di mana
mereka dituduh dan dituntut dengan hukuman mati dengan berbagai dalih misal
“karena melakukan korupsi”
Dalam hubungan ini saya
ingin bertanya kepada Tuan : “Mengapa Tuan membiarkan dan memberi kesempatan
semua itu berlalu yang dapat menjadi contoh (preseden) jelek bagi suatu Negara
yang masih muda dan rakyatnya sedang berkembang yaitu Indonesia ?”
Bukan maksud saya untuk
mencela kebijaksanaan politik yang Tuan lakukan. Akan tetapi perhatian
tertumpah kepada mereka yang dibunuh dan diteror dengan memakai dalih
“pembersihan terhadap golongan merah” sejak peristiwa G 30 S itu terjadi.
Padahal kebanyakan dari mereka itu hanyalah pengikut-pengikut Soekarno yang
tidak tahu menahu tentang peristiwa G 30 S.
Bahkan saya memperoleh
berita bahwa tidak kurang dari 800.000 Rakyat Indonesia yang telah terbunuh
diantaranya trdapat kaum wanita dan anak-anak karena hanya sebagai simpatisan
PKI.
Harian”London Times” membuat
berita pada Januari 1966 sebagai berikut “Bahkan sejak pecahnya peristiwa G 30
S itu dalam 3 bulan telah ratusan ribu kaum komunis yang dibunuh jumlah mana
menurut para diplomat barat angka tersebut masih terlalu rendah.
Sementara itu menurut
sementara pengusaha-pengusaha dan turis-turis dari Eropa yang pulang dari
Indonesia mengatakan bahwa pembunuhan dan teror itu begitu hebatnya sehingga
mereka melihat sementara di sungai-sungai penuh dengan hanyutnya mayat- mayat
tanpa kepala dan sementara anak-anak di desa-desa katanya bermain sepak bola
dengan kepala-kepala manusia yang terbunuh. Pokoknya dalam tempo 3 bulan
sesudah peristiwa G 30 S itu situasi di Indonesia dicekam dengan ketakutan dan
ketegangan dimana banyak darah mengalir yang belum pernah terjadi dalam sejarah
bangsa Indonesia.
Seorang wartawan dari
“Washington Post” memberitakan dari Jakarta bahwa di Jawa Timur saja telah
terbunuh 250.000 orang, demikian menurut sumber dari golongan Islam. Lebih
lanjut “Washington Post” memberitakan bahwa puncak pembunuhan dan teror itu
pada bulan November 1965. Kepala-kepala manusia telah dijadikan hiasan
(decorasi) pada suatu jembatan. Di tempat lain orang melihat bahwa mayat-mayat
tanpa kepala dihanyutkan di sungai-sungai di atas rakit dalam deretan yang
panjang. Sungai bengawan Solo yang indah permai ketika itu penuh dengan
mayat-mayat sehingga di sementara tempat kadang-kadang airnya tidak terlihat
tertutup oleh mayat-mayat itu. Sungai-sungai itu airnya menjadi merah karena
darah Rakyat.Pokoknya ketika itu Indonesia seperti neraka demikian tulis
Washington Post.
Sementara itu harian Inggris
“Economist” memperkirakan bahwa korban yang jatuh karena pembunuhan dan teror
itu mencapai 1.000.000 orang.
Saya ingin bertanya kepada
Tuan: mengapa pertumpahan darah itu sampai terjadi atas mereka yang belum tentu
berdosa? Dan mengapa masyarakat dunia diam seribu bahasa ? Padahal dipihak lain
kalau seorang manusia terbunuh di sepanjang tembok Berlin saja, maka seluruh dunia
Barat
ramai dan geger. Tapi
mengapa dunia Barat itu diam dimana 800.000 Bangsa Asia (Indonesia) telah
dibunuh dan diteror dengan darah dingin, bahkanan dalam situasi Dunia sedang
damai??
Saya tahu pasti bahwa
diantara yang terbunuh itu ada orang komunis. Tapi apa artinya kemerdekaan dan
hak azasi manusia kalau Tuan membenarkan pembunuhan besar-besaran itu sekedar
karena mereka melakukan gerakan di bawah tan ah yang tidak diketahui oleh
Pemerintah Tuan ?
Sebenamya Tuan akan lebih
bijaksana kalau Tuan mengambil langkah-langkah pencegahan terjadinya pembunuhan
besar-besaran itu sebelunm PK.I dinyatakan dilarang oleh undang-undang.
Akan tetapi Tuan ternyata
tidak berbuat demikian dan hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap
hak-hak azasi manusia dan Tuan tidak mendapatkan respek. Lepas dari ideologi
apa yang sudah terjadi itu merupakan “kejahatan nasional”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar